Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Asuransi Asei Waspadai Klaim Sektor Perdagangan

Asuransi Asei Indonesia mencatat terjadi peningkatan klaim asuransi perdagangan di tengah kondisi perekonomian yang belum stabil
Karyawati beraktivitas di dekat logo-logo perusahaan asuransi umum di Jakarta, Rabu (24/7/2024). Bisnis/Arief Hermawan P
Karyawati beraktivitas di dekat logo-logo perusahaan asuransi umum di Jakarta, Rabu (24/7/2024). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA -- PT Asuransi Asei Indonesia mencatat terjadi peningkatan klaim asuransi perdagangan di tengah kondisi perekonomian yang belum stabil. Asuransi perdagangan merupakan produk andalan Asuransi Asei yang memberi perlindungan kepada pembeli [importir] jika penjual [eksportir] cidera janji. 

Kepala Divisi Klaim dan Subrogasi PT Asuransi Asei Indonesia, Eko Sulistyo Raharjo mengatakan di tengah situasi ekonomi yang tidak stabil, yang mengakibatkan banyak perusahaan bangkrut, berpotensi meningkatkan gagal bayar dari perusahaan pembeli kepada penjual atau eksportir. 

"Saat ini sudah ada beberapa peningkatan pengajuan klaim atas risiko tersebut [klaim asuransi perdagangan]," kata Eko kepada Bisnis, dikutip Minggu (18/8/2024).

Dalam laporan keuangan Asei, tercatat per Juli 2024 beban klaim bruto perusahaan mencapai Rp70,55 miliar, naik 4,14% dibanding beban klaim bruto Juni 2024 sebesar Rp67,74 miliar. 

Sebagai informasi, produk asuransi Asei untuk asuransi perdagangan adalah jenis asuransi yang memberikan ganti rugi kepada tertanggung (penjual/bank/Institusi Keuangan Non Bank atau INKB) terhadap kemungkinan risiko kerugian akibat tidak diterimanya sebagian atau seluruh pelunasan pembayaran dari pembeli/importir atau bank pembuka Letter of Credit (L/C) yang disebabkan oleh risiko komersial dan/atau risiko politik.

Asuransi Kredit

Sementara terkait penerapan asuransi kredit yang mengacu kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 20 Tahun 2023 yang mengatur pembagian risiko dalam asuransi kredit Eko mengungkapkan masih membutuhkan waktu untuk sosialisasi yang lebih luas.

Menurutnya, dalam aturan yang meminta penerapan berbagi risiko itu banyak bank belum sepenuhnya siap. "Mekanisme risk sharing, di mana bank harus menanggung setidaknya 25% dari risiko kredit, merupakan hal baru yang memerlukan penyesuaian dalam operasional dan strategi manajemen risiko. Beberapa bank merasa beban tambahan ini dapat mempengaruhi profitabilitas mereka, terutama jika kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) meningkat," ujar Eko

Dia juga menyoroti pentingnya akses terhadap data kredit dan debitur yang diasuransikan. Integrasi data antara bank dan perusahaan asuransi sering kali menjadi tantangan. "Perbankan harus memastikan bahwa data yang diberikan akurat dan terkini, sementara perusahaan asuransi membutuhkan akses untuk melakukan penilaian risiko yang lebih mendalam," tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper