Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Saran Ekonom atas Utang Burden Sharing Rp612,56 Triliun Pemerintah ke Bank Indonesia yang Mulai Jatuh Tempo

Saat pandemi Covid-19 melanda, pemerintah mengizinkan Bank Indonesia membeli surat utang negara di pasar perdana untuk menstabilkan sistem keuangan.
Pegawai merapikan uang rupiah di cash center Bank Mandiri di Jakarta.
Pegawai merapikan uang rupiah di cash center Bank Mandiri di Jakarta.

Bisnis.com, JAKARTA — Ketika pandemi Covid-19 melanda, Presiden Joko Widodo mengizinkan Bank Indonesia membeli surat utang negara di pasar perdana untuk menstabilkan sistem keuangan. Kebijakan itu sempat mendapat banyak pertanyaan karena seolah membagi defisit anggaran dengan Bank Indonesia. Kebijakan ini kemudian dikenal dengan skema burden sharing.

Dalam catatan Bisnis, istilah burden sharing pertama kali diungkapkan oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo ketika awal pandemi. Saat itu, Perry mengungkapkan bahwa BI dan Kementerian Keuangan tengah memfinalisasi kesepakatan untuk memperkuat kerja sama terkait dengan kebutuhan pendanaan APBN.

Dia mengklaim penguatan kerja sama ini dapat membangkitkan kepercayaan investor atas surat utang pemerintah. Selain itu, koordinasi ini akan memicu lebih banyak aliran dana masuk ke pasar utang Tanah Air.

"Kami dan Menteri Keuangan akan melakukan burden sharing penerbitan SBN ini dalam bentuk kesepakatan bersama yang sedang kami finalkan," kata Perry dalam konferensi pers rapat terbatas di Istana, Rabu (3/6/2020).

Pada 31 Maret 2O2O, Presiden Jokowi kemudian menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1/2020. Dalam beleid tersebut, Pasal 16 ayat (1) huruf c menyatakan bahwa BI berhak:

...membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Skema burden sharing tersebut kemudian dipertegas dalam UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Pasal 36A ayat (1) huruf a UU PPSK menyatakan:

Dalam rangka penanganan Stabilitas Sistem

Keuangan yang disebabkan oleh kondisi krisis, Bank Indonesia berwenang:

a. membeli Surat Berharga Negara berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan Sistem Keuangan yang membahayakan perekonomian nasional.

Beban Pemerintah

Menurut catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berdasarkan hasil Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2021, terdapat surat utang negara seri variable rate yang khusus dijual kepada Bank Indonesia (BI) di pasar perdana dengan total nilai sebesar Rp612,56 triliun.

Utang pemerintah ke BI tersebut akan jatuh tempo pada 2025 (Rp100 triliun), 2026 (154,5 triliun), 2027 (154,5 triliun) 2028 (152,06 triliun), dan 2029 (Rp51,5 triliun).

Sejauh ini pemerintah belum menjabarkan cara melunasi utang kepada bank sentral tersebut yang dimulai pada tahun depan dengan ruang fiskal yang sempit.

Selain ke Bank Indonesia, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat profil utang jatuh tempo pemerintah pada 2025 mencapai Rp800,33 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari jatuh tempo SBN sejumlah Rp705,5 triliun dan jatuh tempo pinjaman senilai Rp94,83 triliun.

Untuk pembayaran bunga utang pada 2025 direncanakan senilai Rp552,9 triliun. Alhasil, Pemerintahan Prabowo perlu menyiapkan uang dari kas negara sekitar Rp1.353,23 triliun untuk membayar utang pokok dan bunga utang. 

Di sisi lain, APBN 2025 telah menetapkan belanja negara senilai Rp3.621,3 triliun. Dengan skema ini, hanya Rp2.268,07 triliun yang dapat dibelanjakan karena sisanya digunakan untuk membayar utang.

Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede melihat salah satu cara umum yang sedang dipertimbangkan pemerintah untuk melunasi utang jatuh tempo tersebut adalah debt switching, yakni mengonversi utang jangka pendek menjadi utang jangka panjang.

Menurutnya, jika pemerintah memilih debt switching maka memungkinkan untuk mengelola risiko jatuh tempo utang dengan memperpanjang waktu pembayaran sehingga tidak ada tekanan fiskal yang langsung dan besar pada satu periode. 

“Namun, bisa jadi ada peningkatan beban bunga jangka panjang, terutama jika penerbitan obligasi baru memiliki tingkat bunga yang lebih tinggi,” ujarnya, Minggu (27/10/2024). 

Beberapa opsi lain yang dapat diambil oleh pemerintah, Josua menyebutkan soal penerbitan SBN baru untuk membayar utang yang jatuh tempo alias refinancing. Dalam hal ini, pemerintah perlu memastikan penetapan suku bunga yang menarik bagi investor tetapi tetap dalam batas fiskal yang sehat.

Meski dapat memperpanjang profil utang jatuh tempo pemerintah, langkah ini juga dapat meningkatkan beban pembayaran bunga, terutama jika penerbitan dilakukan pada suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan beban bunga utang yang jatuh tempo.

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper