Gali Potensi
Komitmen BRI pun tak tanggung-tanggung dalam mengangkat potensi UMKM Tanah Air. Ini tercermin dari bagaimana BRI aktif memberikan pelatihan manajemen keuangan, pengembangan usaha, serta strategi digitalisasi untuk memperkuat daya saing pelaku UMKM di era ekonomi digital.
Dengan demikian, para pelaku usaha tidak hanya mendapatkan pembiayaan, tetapi juga pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengelola usaha secara lebih profesional dan berkelanjutan.
Untuk membantu nasabah existing naik kelas, BRI juga tidak meninggalkan pelaksanaan berbagai program pemberdayaan, salah satunya Klaster Usaha merupakan pemberdayaan kepada kelompok usaha yang terbentuk berdasarkan kesamaan usaha dalam satu wilayah, sehingga tercipta keakraban dan kebersamaan dalam peningkatan maupun pengembangan usaha para anggotanya.
Hingga September 2024 terdapat lebih dari 33.800 klaster usaha binaan BRI yang tergabung dalam program Klasterku Hidupku. BRI sendiri secara proaktif telah melakukan lebih dari 2.300 pemberdayaan berupa pelatihan dan bantuan sarana prasarana produksi telah diberikan.
Selanjutnya, adalah Rumah BUMN. Inisiatif ini tidak hanya sekadar menjadi tempat pertemuan, tetapi juga menjadi pusat pengembangan kapasitas yang membantu UMKM berkembang melalui berbagai program pelatihan, pendampingan, dan pembinaan.
Tercatat, BRI yang menjadi salah satu BUMN aktif dalam mendukung program ini telah mendirikan 54 titik Rumah BUMN di berbagai wilayah.
Bahkan, sejak awal terbentuk, Rumah BUMN yang dikelola BRI menunjukkan perkembangan yang signifikan, baik dari jumlah UMKM yang bergabung maupun banyaknya kegiatan yang terselenggara. Sampai September 2024, lebih dari 457.000 UMKM telah terdaftar di Rumah BUMN binaan BRI, dengan total 14.000 pelatihan yang dilaksanakan.
Edukasi UMKM
Sunarso menyebut terdapat lima hal yang perlu diedukasi kepada UMKM. Pertama, tentang spirit atau semangat kewirausahaan. “Itu yang harus kita edukasi kepada UMKM. Karena pelaku UMKM sangat banyak sehingga masih beragam level-nya,” ujarnya.
Kedua, tentang kemampuan mereka melakukan administrasi dan manajerial. Menurut Sunarso ini merupakan pekerjaan rumah yang penting. Sebab kedua hal tersebut masih merupakan area yang sangat luas untuk dikerjakan.
Ketiga, tentang aksesibilitas UMKM terhadap informasi, pasar, teknologi dan pendanaan. Keempat, Sunarso mengatakan UMKM juga harus diedukasi soal keberlanjutan. Baik itu tentang keberlanjutan bisnis terlebih juga keberlanjutan lingkungan.
Terakhir, Sunarso menekankan pentingnya edukasi soal prinsip Good Corporate Governance kepada UMKM. “Kita perlu edukasi UMKM untuk menjalankan bisnis dengan prinsip-prinsip GCG dengan baik. Itulah yang akan menjadikan UMKM bertumbuh dan berkembang berkelanjutan,” tandasnya
Komitmen BRI untuk bisa mengangkat potensi lokal ke kancah global diakui oleh Adang, seorang pelaku UMKM di Bandung, yang berhasil mengoptimalkan bambu menjadi berbagai jenis kerajinan dan produk olahan makanan dan terkenal hingga di tingkat internasional.
Bisnis Adang makin maju berkat dukungan dari BRI. Usaha kerajinan bambu miliknya, yang dikenal dengan nama Virage Awi, telah menjadi bagian dari klaster usaha yang dibina BRI. Lewat dukungan BRI pada 2014, hak cipta alat musik bambu dari Virage Awie dipatenkan, yang pada akhirnya alat musik tersebut memiliki HAKI (Hak Kekayaan Intelektual).
Kemudian, di awal perjalanan usahanya, Adang juga memanfaatkan fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR) BRI untuk mendukung pendanaan. Selain itu, Virage Awi mendapatkan bantuan berupa alat produksi, yang menurutnya sangat membantu para perajin binaan untuk meningkatkan kapasitas produksi olahan bambu.
Seiring waktu, Virage Awi tidak hanya berfokus pada pembuatan alat musik, tetapi juga memperluas lini produknya ke berbagai jenis kerajinan seperti jam tangan bambu, alat makan, wadah minum, speaker, hingga produk kuliner berbahan dasar bambu. Keunikan ini nyatanya tak hanya menarik minat pembeli dalam negeri, namun juga luar negeri.
Menariknya, kala aspek produksinya kian berkembang, hal itu ternyata tidak serta merta membuat Adang berpuas diri. Sebaliknya, dia melihat peluang lebih besar untuk berbagi keberhasilan dengan masyarakat sekitar.
Adang percaya bahwa potensi bambu tidak hanya bisa mengangkat nama Virage Awi, tetapi juga menjadi sumber pemberdayaan bagi kelompok lain.
Melalui berbagai inisiatif pelatihan usaha, dia aktif membina kelompok-kelompok masyarakat, termasuk kelompok wanita dan penyandang disabilitas, agar mereka juga dapat mengembangkan produk berbasis bambu.
Kelompok Wanita Kreatif Tanginas, misalnya, mengolah rebung menjadi beragam kuliner unik seperti mustofa rebung, simping rebung, semprong, pangsit, hingga brownies rebung. Adapula, Kelompok Wanita Kreatif Motekar yang menghasilkan kerupuk daun bambu yang khas.
Selain itu, Adang juga mendirikan kelompok usaha kerajinan difabel, yang memberikan kesempatan mereka untuk mengembangkan keterampilan guna menjadi lebih mandiri secara ekonomi.
Tak hanya di Jawa Barat, Desa Nepo yang terletak di Kecamatan Malusetasi, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, kini telah berhasil menyulap hasil bumi mentah menjadi produk yang siap konsumsi. Salah satu produk andalannya adalah camilan Kacang Nepo, yang diproduksi oleh pengusaha lokal bernama Suparman.
Kacang Nepo hadir dengan berbagai varian rasa unik, seperti kacang krispi, kacang sembunyi berlapis gula pasir, kacang disco, kacang tempe, dan lainnya, yang menawarkan cita rasa gurih serta tekstur renyah.
Suparman mengungkapkan bahwa ide untuk memulai usaha ini muncul pada tahun 2022. "Saya melihat banyak hasil bumi di desa ini hanya dijual dalam bentuk mentah, sehingga muncul gagasan untuk mengolahnya agar memberikan nilai tambah bagi masyarakat sekitar," jelasnya.
Dengan kemasan awal yang sederhana, produk ini kemudian mendapat dukungan dari BRI melalui program Desa BRILiaN pada tahun 2023. Program ini membantu Suparman dalam bidang pemasaran, desain kemasan, hingga penerapan teknologi digital. Berkat pemberdayaan tersebut, Kacang Nepo kini memiliki kemasan yang lebih menarik dan mampu menjangkau pasar yang lebih luas.
Dukungan BRI melalui program ini juga memberikan dampak signifikan terhadap perkembangan usaha Suparman.
Pelatihan yang melibatkan kolaborasi dengan Politeknik Pariwisata membantu meningkatkan kualitas produk, baik dari segi rasa maupun pengemasan, sehingga lebih kompetitif di pasar. Selain itu, BRI memperkenalkan teknologi digital seperti QRIS, yang memungkinkan pembayaran non-tunai, mempermudah transaksi, dan memperluas akses pasar.
"Pemasaran di toko lokal dan supermarket sekarang jauh lebih mudah berkat QRIS," kata Suparman. Ia menambahkan, penggunaan teknologi ini tidak hanya mempercepat transaksi tetapi juga memudahkan konsumen untuk membeli produknya.
Saat ini, Kacang Nepo telah menghasilkan pendapatan hingga belasan juta rupiah per bulan, menjadi sumber penghasilan utama bagi Suparman dan beberapa warga yang ia pekerjakan. Dengan meningkatnya permintaan, ia berencana memperluas tim dan melibatkan lebih banyak warga dalam proses produksi.
"Harapannya, UMKM di desa kami semakin berkembang, dan lebih banyak masyarakat yang merasakan manfaatnya," ujarnya.
Suparman juga berharap produk lokal seperti Kacang Nepo tidak hanya dikenal di lingkup lokal, tetapi juga menjadi ikon kuliner khas Desa Nepo yang dikenal secara nasional.
"Kami ingin hasil bumi dari desa ini dipasarkan dalam bentuk produk kemasan bernilai tambah, bukan lagi sebagai bahan mentah," tegasnya.
Ia bermimpi untuk membawa Kacang Nepo ke pasar nasional hingga ke kancah internasional dan melihatnya sebagai produk unggulan yang mengharumkan nama Desa Nepo.
Pada akhirnya, Adang dan Suparman menjadi salah satu gambaran dari besarnya harapan pelaku UMKM untuk menembus pasar global. Harapan yang sekaligus menjadi pijakan bagi BRI dalam mengoptimalkan perannya sebagai tulang punggung perekonomian nasional.
Dengan dukungan serta sinergi yang tepat, potensi lokal tidak hanya bertahan di pasar domestik, namun juga mampu bersaing di panggung internasional, sekaligus memberikan manfaat bagi banyak pihak, termasuk masyarakat sekitar.