Bisnis.com, JAKARTA — BPJS Watch membuat simulasi perhitungan aset bersih BPJS Kesehatan yang semakin tergerus setiap tahun apabila tidak ada penyesuaian atau kenaikan iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Koordinator Advokasi BPJS Wacth Timbeol Siregar mengatakan bahwa apabila hal itu terjadi, BPJS Kesehatan tidak akan mampu membayar biaya kesehatan kepada fasilitas kesehatan (faskes) yang pada akhirnya tidak bisa memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat.
"Kalau iuran tidak naik, dari mana dia dapat tambahan sementara pembiayaan semakin meningkat. Katastropik kasusnya itu naik terus. Ini kan persoalan kalau dia [iuran] tidak naik artinya pendapatannya akan tetap, pembiayaan akan meningkat. Artinya, defisit akan semakin besar. Kalau defisit semakin besar akan menggerogoti aset bersih, aset bersihnya habis, itu maka masa 2014—2020 bisa terjadi lagi," kata Timboel kepada Bisnis, Minggu (1/12/2024).
Sampai Oktober 2024, beban jaminan kesehatan yang ditanggung BPJS Kesehatan mencapai Rp146,28 triliun sementara penerimaan iuran yang didapat dari peserta hanya Rp133,45 triliun.
Secara rasio, beban terhadap pendapatan program JKN per Oktober 2024 telah tembus mencapai 109,62%, atau ada defisit sebesar Rp12,83 triliun. Timboel mengestimasi dua bulan lagi, atau hingga Desember 2024 defisit itu akan melebar menjadi Rp20 triliun.
Timboel menghitung, defisit pendapatan dengan beban tersebut akan memangkas aset bersih yang dimiliki BPJS Kesehatan per akhir 2023 sebesar Rp56,66 triliun sehingga aset bersih BPJS Kesehatan akan tersisa Rp36,66 triliun.
Baca Juga
Bila tidak ada kenaikan iuran, Timboel mengatakan aset bersih Rp36,66 triliun tersebut akan dihadapkan dengan potensi defisit kembali pada 2025. Dengan estimasi setiap tahun ada peningkatan defisit Rp5 triliun, Timboel membuat simulasi defisit Rp25 triliun pada 2025 yang kemudian akan memangkas aset bersih BPJS Kesehatan sehingga tersisa menjadi Rp11,66 triliun.
Selanjutnya, dengan kondisi yang sama tidak ada penyesuaian iuran dan defisit bertambah Rp5 triliun tiap tahun, pada 2026 estimasi dari Timboel menyebut akan terjadi defisit Rp30 triliun yang pada akhirnya aset BPJS Kesehatan akan defisit.
"Selesai itu aset bersihnya, sudah hilang saja. Itu kalau tidak ada kenaikan iuran, pada 2026 itu diperkirakan itu seperti defisit seperti pada 2014, 2015, 2016, 2017, 2018, 2019, 2020, di mana rumah sakit akan kesulitan mendapatkan pembiayaan yang tepat waktu, sehingga akan mengganggu cash flow rumah sakit. Cash flow rumah sakit terganggu ya terdampak juga kepada pasiennya," tegas Timboel.
Rencananya pemerintah akan menaikkan iuran program JKN tahun depan. BPJS Watch menyarankan kenaikan tersebut diberlakukan untuk segmen peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang sumber iurannya dibayarkan oleh pemerintah dengan APBN dan APBD.
Kedua, kenaikan iuran program JKN diusulkan BPJS Watch juga dikenakan pada peserta segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri. Saat ini, peserta mandiri kelas I iurannya sebesar Rp150.000 per bulan, kelas II Rp100.000 per bulan dan kelas III Rp42.000 per orang per bulan dengan subsidi sebesar Rp7.000 per orang per bulan dari pemerintah, sehingga yang dibayarkan peserta kelas III hanya Rp35.000.
"Kalau saya mengusulkan mandiri tetap naik di kisaran 10% tapi harus dimulai dengan hapus dulu tunggakan, atau dikasih diskon supaya kenaikan bisa dibayar pesreta mandiri tanpa dibebani tunggakan iuran," ujarnya.