Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mencatat terjadi lonjakan rasio klaim asuransi kredit hingga September 2024 menjadi sebesar 85,5% dari sebelumnya 71,8% per September 2023.
Wakil Ketua Bidang Statistik, Riset, & Analisa AAUI Trinita Situmeang menjabarkan premi dicatat dari lini usaha asuransi kredit per kuartal III/2024 sebesar Rp12,26 triliun, dengan klaim dibayar mencapai Rp10,48 triliun.
"Rasio selama sembilan bulan ini angkanya memang seperti itu [85,5%], tapi kita tunggu sampai akhir tahun kira-kira seperti apa," kata Trinita saat di kantor AAUI, Selasa (3/12/2024).
Trinita menjelaskan asuransi kredit di asuransi umum meng-cover gagal bayar atau default yang ditanggung kreditur. Dalam polis asuransi kredit, terdapat empat sampai lima kondisi yang ketika semuanya terpenuhi, maka perusahaan asuransi akan membayarkan klaimnya.
"Kita lihat rasio di sini adalah rasio dari klaim dibayar terhadap premi. Jadi, ini memang kumpulan dari klaim-klaim sebelumnya. Bisa jadi sudah dicadangkan di periode-periode sebelumnya atau mungkin bahkan di tahun sebelumnya kemudian diselesaikan dalam waktu kurun sembilan bulan di tahun ini," kata Trinita.
Sementara itu, Ketua Umum AAUI Budi Herawan mengatakan lini usaha asuransi kredit saat ini dihadapkan beberapa tantangan. Salah satunya adalah implementasi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 20 Tahun 2023 tentang Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Kredit atau Pembiayaan Syariah dan Produk Suretyship atau Suretyship Syariah.
"POJK 20 nanti namanya penjaminan harus pisah dengan asuransi, itu kan ada penugasan seperti KUR. Kita lagi bantu teman-teman yang dapat penugasan agar implementasi KUR bisa tumbuh," kata Budi.
Adapun POJK 20/2023 tersebut efektif mulai berlaku pada 13 Desember 2024. Beberapa ketentuan di dalamnya adalah mempersyaratkan perusahaan asuransi umum yang memasarkan produk asuransi kredit harus memiliki rasio likuiditas minimal 150%.
Selain itu, perusahaan asuransi umum juga diwajibkan memiliki ekuitas paling sedikit Rp250 miliar atau 150% dari ketentuan ekuitas minimum yang berlaku, mana yang lebih tinggi sampai 31 Desember 2028. Ketentuan ekuitas minimum tersebut bertambah menjadi Rp1 triliun setelah 31 Desember 2028.