Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) melihat asuransi umum akan semakin konservatif memberikan proteksi kredit pemilikan rumah (KPR) jika nonperforming loan (NPL) atau kredit macetnya semakin membesar.
Ketua Umum AAUI Budi Herawan menegaskan bahwa pada dasarnya industri asuransi umum tetap berkomitmen untuk mendukung program pemerintah termasuk program KPR, baik yang bersubsidi maupun nonsubsidi sebagai bagian dari kontribusi terhadap pertumbuhan sektor perumahan nasional.
"Meningkatnya rasio kredit bermasalah (NPL) KPR rumah tangga hingga 3,17%, dapat menjadi sinyal perusahaan asuransi yang berpotensi peningkatan risiko gagal bayar," kata Budi kepada Bisnis, Selasa (22/7/2025).
Berdasarkan data, NPL KPR rumah tangga per Mei 2025 tembus 3,17%, memburuk dibanding akhir 2024 pada level 2,61%. NPL KPR rumah tangga ini menjadi rekor terburuk dalam empat tahun terakhir, bahkan lebih buruk dibanding masa pandemi Covid-19 pada 2020 di level 2,65%.
Budi mengatakan AAUI terus memantau perkembangan NPL KPR rumah tangga. Apalagi, dari sisi industri asuransi, pendapatan premi asuransi kredit dalam kuartal I/2025 hanya tumbuh 0,3% year on year (YoY) menjadi Rp3,98 triliun. Sebaliknya, klaim asuransi kredit melambung 8,3% YoY menjadi Rp3,59 triliun. Alhasil, rasio klaim asuransi kredit di industri umum dalam kuartal I/2025 naik menjadi 90,3%.
"Jika memang terjadi kondisi NPL yang terus memburuk sehingga risiko gagal bayar meningkat tajam, risk appetite perusahaan asuransi tentu cenderung lebih konservatif. Perusahaan asuransi kini melakukan penilaian risiko yang lebih hati-hati dan berbasis data, termasuk menyesuaikan underwriting policy," tegasnya.
Baca Juga
Budi menjelaskan bahwa produk asuransi yang berkaitan dengan program KPR ada dua, yaitu asuransi kredit dan asuransi harta benda. Dalam kuartal I/2025, asuransi harta benda mencatatkan premi Rp7,8 triliun, atau terkoreksi 14% YoY. Sebaliknya, klaim asuransi harta benda tercatat sebesar Rp1,96 triliun, meningkat 33% YoY. Rasio klaim asuransi harta benda dalam kuartal I/2025 masih lebih sehat dibanding rasio klaim asuransi kredit, yakni di level 25,1%.
Bila dilihat trennya dalam tiga tahun terakhir, rasio klaim asuransi harta benda rata-rata berada di kisaran 30%, sedangkan rasio klaim asuransi kredit rata-rata berada di rentang yang lebih tinggi, yakni di kisaran 83%.
Menghadapi tantangan kredit macet KPR rumah tangga yang kian tinggi, Budi menilai industri asuransi perlu menerapkan strategi penilaian risiko yang lebih komprehensif dan proses underwriting yang ketat.
Selain itu, penetapan tarif premi harus dilakukan berbasis risiko, yaitu harus mempertimbangkan tingkat risiko dan tren NPL, pengalaman klaim historis, profil demografis dan kemampuan bayar debitur, hingga skema PKS dengan perbankan.
Tidak kalah penting, Budi mengatakan perusahaan asuransi juga harus memperkuat koordinasi dan sinergi dengan lembaga keuangan agar seleksi calon debitur lebih ketat sehingga risiko dapat diminimalisir sejak awal.
Dengan strategi tersebut, Budi melihat prospek proteksi terhadap program KPR tetap positif dalam jangka panjang. Apalagi seiring dengan kebutuhan perumahan yang juga tinggi.
Selain perbaikan dari pelaku industri, Budi menilai dukungan dari regulator juga diperlukan untuk menjaga keberlanjutan produk asuransi kredit, terutama dalam hal penguatan kebijakan mitigasi risiko dan peningkatan literasi masyarakat.
"Selain itu, dapat dipertimbangkan insentif bagi perusahaan asuransi yang berpartisipasi dalam program KPR, serta fasilitasi kerja sama yang sehat antara pelaku industri asuransi dan lembaga keuangan sehingga tercipta ekosistem proteksi yang adil," pungkasnya.