Bisnis.com, JAKARTA — Rasio kerugian asuransi kesehatan mencapai 141% per kuartal I 2025 (year on year/YoY). Kerugian ini tidak lepas dari permasalahan inflasi medis yang diperkirakan mencapai 13,60% pada 2025.
Ekonom senior dan pendiri Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Hendri Saparini, menjelaskan tren tingkat inflasi umum pada Juni 2025 mencapai 1,87%, lebih rendah dibandingkan inflasi medis yang tumbuh 10%.
Hendri menyampaikan inflasi medis lebih berdampak terhadap sektor asuransi dibandingkan inflasi umum. Inflasi medis akan menyebabkan lonjakan kebutuhan obat-obatan, peralatan, hingga fasilitas medis.
Akibatnya perusahaan asuransi harus mengeluarkan klaim lebih besar karena lonjakan harga. Selain itu, kenaikan premi juga berpotensi berlanjut.
Secara rinci, Hendri menjabarkan rasio kerugian asuransi kesehatan dalam beberapa tahun terakhir setiap kuartal. Pada 2022 kerugian mencapai 82%, lalu pada kuartal I/2023 naik 4% menjadi 86%.
Pada kuartal I/2024, terjadi penurunan cukup signifikan menjadi 4%. Namun, memasuki kuartal IV melonjak menjadi 68%, lalu pada kuartal I/2025 naik signifikan menjadi 141%.
Baca Juga
"Tingkat inflasi medis yang tinggi [13,60% pada 2025] menyebabkan biaya klaim meningkat lebih cepat daripada penyesuaian premi dan menekan perusahaan asuransi untuk menyerap pembayaran yang lebih tinggi. Rasio kerugian asuransi kesehatan melebihi 100% untuk perusahaan reasuransi, sehingga membebani profitabilitas," kata Hendri dalam acara IndonesiaRe Internasional Conference 2025, Jakarta, Selasa (22/7/2025).
Dia menilai kondisi ini menjadi tantangan serius bagi penyelenggara asuransi. Perlu adanya langkah strategis untuk mengoptimalkan inflasi medis sehingga rasio kerugian dapat tertekan.