Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas saat ini sedang menyusun Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) baru pengganti Surat Edaran OJK No. 7 Tahun 2025 yang mengatur skema co-payment asuransi kesehatan.
Praktisi Manajemen Risiko dan Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi) Wahyudin Rahman mengatakan setidaknya ada empat poin penyesuaian mekanisme co-payment kesehatan yang harus masuk dalam POJK baru nanti.
"Pertama adalah definisi dan proporsi co-payment. Misalnya, definisi menjadi risiko sendiri dan batas maksimal co-payment ditetapkan misalnya 5% sampai 10% agar tidak memberatkan peserta," kata Wahyudin, Selasa (8/7/2025).
Seain itu, menurutnya perlu ada kejelasan kapan dan bagaimana co-payment diterapkan. Hal ini menurutnya bisa dibedakan berdasarkan jenis layanan, rumah sakit, atau polis.
"Kedua, mekanisme pengecualian bagi kelompok rentan. Walaupun segmen mikro dikecualikan, tetapi harus jelas siapa yang masuk kategori rentan misalnya pekerja informal, lansia atau peserta dengan penghasilan rendah. Selain itu, juga diperjelas bagaimana proses verifikasi serta implementasinya," tegasnya.
Wahyudin menilai skema co-payment asuransi kesehatan memang bisa menimbulkan beban tambahan finansial sehingga perlindungan sosial tetap harus menjadi prioritas. Walaupun umumnya kelompok rentan sudah dijamin dalam JKN atau BPJS Kesehatan, namun adakalanya dapat membeli asuransi kesehatan tambahan.
Baca Juga
Ketiga, Wahyudin menyarankan ada pengaturan batas komisi agen. Menurutnya, batasan komisi agen asuransi bisa ditinjau ulang, tapi harus tetap memberi insentif memadai agar agen tetap aktif memasarkan produk asuransi kesehatan.
"Efisiensi beban akuisisi penting, tetapi harus tetap mempertahankan insentif yang sehat bagi agen. Sebaiknya pendekatan efisiensi dilakukan bertahap, bisa juga dengan mendorong digitalisasi distribusi atau insentif berbasis kualitas seperti retensi nasabah dan rasio klaim," ujarnya.
Keempat, skema co-payment disertai dengan kewajiban edukasi dan transparansi. Melalui ketentuan ini, perusahaan asuransi wajib memberikan informasi yang jelas kepada nasabah terkait besaran co-payment dan manfaatnya.
Sebenarnya skema co-payment akan efektif berlaku mulai 1 Januari 2026. Ihwal penundaan yang terjadi sekarang, Wahyudin mengatakan skema co-payment sangat krusial karena rasio klaim yang mendekati 100% bisa mengancam keberlanjutan portofolio asuransi kesehatan, terlebih bila OPEX dan cadangan klaim diperhitungkan.
Tanpa intervensi seperti co-payment, ujarnya, kenaikan premi akan terus berlanjut dan membuat produk tidak lagi kompetitif dan menyulitkan akses asuransi kesehatan bagi masyarakat luas.
"Idealnya bisa dijalankan pada tahun 2026 dengan beberapa penyesuaian penting dalam POJK. Penundaan lebih lama berisiko memperburuk tekanan keuangan perusahaan asuransi dan menunda reformasi struktural sistem kesehatan swasta," tegasnya.
Penundaan co-payment sendiri diputuskan dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI bersama OJK pada Senin 30 Juni 2025. Hari ini, Selasa (8/7/2025) OJK menyatakan bahwa penyusunan POJK pengganti SEOJK 7/2025 yang mengatur co-payment sedang dibahas dengan koordinasi bersama Komisi XI DPR RI. Dengan begitu, implementasi co-payment akan bergantung pada perkembangan pembahasan regulasi tersebut.
"Jika perlu ditunda, batas waktu harus jelas dan disertai roadmap implementasi bertahap agar pelaku industri punya cukup waktu melakukan penyesuaian sistem IT, pelatihan agen serta edukasi peserta," pungkasnya.