Bisnis.com, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan norma Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) inkonstitusional bersyarat. Ketetapan ini tertuang dalam Pengucapan Putusan Nomor 83/PUU-XXII/2024 dalam perkara Pengujian Materiil KUHD yang dimohonkan oleh Maribati Duha, pada Jumat (03/01/2025).
Praktisi Manajemen Risiko dan Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi) Wahyudin Rahman menilai keputusan tersebut berpotensi memberikan dampak yang signifikan pada industri asuransi. Misalnya, industri asuransi harus menghadapi potensi interpretasi baru terkait pembatalan perjanjian asuransi. Kondisi ini menurutnya akan memengaruhi proses underwriting dan manajemen risiko perusahaan asuransi.
"Selanjutnya, perusahaan asuransi harus meninjau ulang syarat dan ketentuan polis untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh MK dan perusahaan mungkin menghadapi lebih banyak sengketa terkait klaim," kata Wahyudin kepada Bisnis, Sabtu (4/1/2025).
Selain itu, Wahyudin menilai dengan adanya putusan MK ini perusahaan asuransi perlu melakukan pelatihan, pembaruan sistem dan penyesuaian kebijakan internal untuk mengakomodasi keputusan final.
Selanjutnya, Wahyudin mengatakan perusahaan asuransi perlu memastikan klausul yang mengatur tentang pembatalan perjanjian sudah sesuai dengan interpretasi hukum baru usai putusan MK tersebut.
Baca Juga
Perusahaan asuransi, kata dia, juga perlu memberikan pemahaman kepada nasabah mengenai pentingnya transparansi informasi saat mengajukan asuransi untuk menghindari sengketa di kemudian hari.
"Terakhir, perusahaan asuransi perlu mengembangkan metode evaluasi risiko yang lebih detail untuk mendeteksi potensi informasi yang tidak diungkapkan, serta membentuk tim hukum atau mediasi khusus untuk menangani sengketa secara cepat dan efisien," pungkasnya.
Aturan OJK
Pasal 251 KUHD sebelumnya berbunyi: 'Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal.'
Aturan ini kemudian diubah sebagian oleh Mahkamah Konstitusi. “Menyatakan norma Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai: 'Termasuk berkaitan dengan pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung berdasarkan putusan pengadilan'," ucap Hakim Mahkamah Konstitusi Suhartoyo saat pembacaan amar Putusan Nomor 83/PUU-XXII/2024 dikutip dari laman MK, Jumat (3/1/2025).
Wahyudin juga menekankan, norma baru ini juga memberikan perlindungan bagi nasabah yang klaimnya ditolak sepihak oleh perusahaan asuransi.
"Putusan ini mengutamakan perlindungan konsumen yakni menjamin tertanggung tidak dirugikan oleh ketentuan sepihak dari perusahaan asuransi terkait pembatalan polis," katanya.
Sementara di sisi lain, Wahyudin menilai putusan MK ini akan mendorong perusahaan asuransi untuk lebih berhati-hati dalam menjelaskan ketentuan polis. Untuk itu, menurutnya putusan MK ini harus diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang ketat agar tidak merugikan perusahaan asuransi secara berlebihan.
Namun, ada catatan penting dari Wahyudin. Dengan jaminan barupa tertanggung tidak akan dirugikan oleh keputusan sepihak perusahaan asuransi yang menolak klaim, dia berharap kondisi ini tidak dimanfaatkan oleh calon nasabah atau nasabah pemegang polis asuransi.
"Keputusan ini dapat memicu moral hazard dari tertanggung yang mungkin sengaja tidak mengungkapkan informasi penting. Selain itu, beban klaim yang lebih tinggi berisiko memengaruhi stabilitas keuangan perusahaan asuransi," ujarnya.
Wahyudin juga berharap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera menerbitkan pedoman baru untuk memastikan keseragaman praktik di industri asuransi usai putusan MK ini.
Setali tiga uang, pengamat asuransi dan Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA) mengatakan putusan MK tersebut juga akan memberikan perlindungan kepada nasabah asuransi.
"Keputusan MK ini tidak menghilangkan prinsip utmost good faith, tetapi memberi peluang kepada nasabah yang merasa dirugikan keputusan perusahaan asuransi untuk meminta pengujian dari pengadilan," kata Abitani.
Di lain pihak, sambungnya, perusahaan asuransi dapat mengajukan kontra gugatan bahkan hukum pidana tentang percobaan penipuan apabila diyakini pelanggaran prinsip utmost good faith oleh tertanggung dilakukan dengan sengaja untuk meraih keuntungan.