Bisnis.com, JAKARTA — Perkembangan kendaraan listrik di Indonesia terus meningkat, tetapi regulasi terkait asuransi untuk kendaraan ini dinilai masih tertinggal.
Dosen sekaligus Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi) Wahyudin Rahman mengatakan aturan yang ada saat ini sudah usang dan tidak relevan dengan kebutuhan industri. Dia menilai revisi terhadap Surat Edaran OJK (SE OJK) No.06/2017 menjadi sangat mendesak agar peluang asuransi kendaraan listrik dapat dimanfaatkan secara optimal.
“Perubahan SE OJK 6/17 saat ini menjadi mendesak karena telah usang,” kata Wahyudin kepada Bisnis, Senin (20/1/2025).
Wahyudin menjelaskan bahwa meskipun pasar kendaraan listrik di Indonesia terus berkembang, peluang industri asuransi untuk masuk ke skema proteksi kendaraan listrik masih sangat kecil.
Hingga saat ini, hanya segelintir perusahaan asuransi yang menyediakan pertanggungan untuk kendaraan listrik, itu pun menggunakan skema yang sudah ada dan mengecualikan komponen baterai, yang menjadi bagian paling krusial dari kendaraan listrik. Selain populasi yang masih kecil, lanjut Wahyudin, aspek baterai memang paling banyak diperdebatkan sehingga banyak pelaku yang belum berani untuk memberikan proteksi.
Menurutnya, salah satu hambatan utama adalah belum adanya regulasi yang jelas untuk menentukan nilai pertanggungan dan jaminan bagi kendaraan listrik.
Baca Juga
“Aturannya harus dipercepat. Padahal sudah dikaji sejak 2022, tetapi masih belum terbit karena sedang ada pendalaman terkait penentuan nilai pertanggungan kendaraan listrik. Tantangannya sebagian besar terkait baterai, penentuan jaminan total loss, dan keterkaitannya dengan usia serta kerentanan baterai yang rentan terbakar sendiri,” paparnya.
Wahyudin juga menyoroti perbedaan signifikan antara kendaraan listrik dan kendaraan bermotor konvensional. Ia menekankan bahwa polis asuransi untuk kendaraan listrik perlu dirancang secara khusus untuk mengakomodasi risiko yang berbeda, termasuk tarif, risiko sendiri (deductible), klasifikasi wilayah, dan ruang lingkup jaminan.
“Sehingga wording polisnya juga dapat berbeda. Ini berdasarkan pertimbangan masih minimnya pertumbuhan kendaraan listrik dan karakter risiko yang cukup berbeda dengan kendaraan bermotor konvensional,” katanya.
Karena masih banyak tantangan dalam pengelolaan risiko kendaraan listrik, Wahyudin mengungkapkan bahwa industri asuransi saat ini sedang menunggu aturan yang lebih jelas serta kajian mendalam dari asosiasi terkait.
“Industri sedang menunggu aturan yang jelas dan kajian dari asosiasi. Sehingga masih banyak yang belum masuk ke pasar asuransi kendaraan listrik ini,” tambahnya.
Wahyudin menegaskan bahwa regulasi baru sangat dibutuhkan untuk mengatasi berbagai tantangan dalam proteksi kendaraan listrik, khususnya terkait tarif dan jaminan. Regulasi yang ada saat ini tidak lagi relevan dengan perkembangan kendaraan listrik, baik dari segi teknologi maupun risiko yang dihadapi.
Dia pun berharap perubahan terhadap SE OJK No.06/2017 dapat segera terealisasi untuk mendukung perkembangan kendaraan listrik di Indonesia sekaligus memberikan peluang baru bagi industri asuransi. Tanpa regulasi yang jelas, potensi asuransi kendaraan listrik sebagai salah satu pendukung ekosistem kendaraan ramah lingkungan belum dapat dimanfaatkan secara maksimal.
“Perlu aturan yang jelas, terutama mengenai tarif dan jaminan,” tegas Wahyudin.