Direktur Utama Modal Rakyat Christian Hanggra menilai tantangan utama pendanaan UMKM adalah kualitas borrower atau peminjam. Ia memprediksi pertumbuhan pembiayaan P2P lending ke segmen UMKM akan melambat pada 2025, seiring dengan kebijakan lembaga pembiayaan yang lebih konservatif dalam menetapkan target pendanaan.
“Karena borrower yang bagus ini memang enggak banyak. Faktor lainnya juga karena bunga acuan masih tinggi di 5,75% oleh Bank Indonesia dan kondisi pasar global yang kurang baik,” kata Christian.
Dari sisi pelaku UMKM, pinjaman P2P lending dinilai memiliki keunggulan dibandingkan kredit bank. Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero mengatakan bahwa meskipun bunga pinjaman bank lebih rendah, pelaku UMKM lebih tertarik dengan pelayanan cepat dari institusi non bank.
“Kalau dilihat penyebab utamanya adalah percepatan pelayanan yang dilakukan perbankan khususnya Himbara dibanding mereka yang non bank, P2P misalnya, atau multifinance. Kalau perbankan, hari ini kita ajukan permohonan, satu minggu sampai dua bulan baru direspons setuju atau tidak. Pelayanannya lambat,” kata Edy.
Menanggapi risiko kredit macet, Edy berpendapat bahwa UMKM merupakan pelaku bisnis yang profesional dan bertanggung jawab terhadap pinjaman yang mereka ambil dari P2P lending.
“Mari belajar, percaya bahwa pelaku UMKM adalah pelaku bisnis yang bertanggung jawab. Kalau kami mendapat bantuan modal kerja, kami mau dan akan bertanggung jawab,” pungkasnya.