Bisnis.com, JAKARTA – Usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) menjadi kelompok ekonomi yang menawarkan peluang pasar menjanjikan bagi industri fintech P2P lending alias pinjaman online (pnjol). Dibandingkan dengan perbankan, lembaga keuangan non bank ini menawarkan kemudahan dan kecepatan pendanaan bagi pelaku usaha produktif.
Namun, pendanaan segmen produktif juga menjadi sumber kredit bermasalah bagi penyelenggara P2P lending. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per November 2024, terdapat 21 penyelenggara P2P lending yang memiliki tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) di atas 5%. Mayoritas dari mereka merupakan penyelenggara yang fokus pada pembiayaan produktif.
Meski demikian, pembiayaan UMKM oleh P2P lending tetap menunjukkan kinerja positif. Pada periode tersebut, pertumbuhannya mencapai 15% secara tahunan (yoy) menjadi Rp24,46 triliun. Sementara itu, outstanding P2P lending untuk keseluruhan segmen penerima pembiayaan per Desember 2024 naik 29,14% yoy menjadi Rp77,02 triliun. Dari jumlah tersebut, porsi pinjaman ke segmen produktif mencapai 30,19% atau sekitar Rp23 triliun.
OJK sendiri saat ini mendorong peningkatan porsi pembiayaan P2P lending untuk segmen produktif menjadi 40-50% pada 2025-2026 dari total outstanding pinjaman online. Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, Agusman, menyebutkan bahwa salah satu strategi mencapai target ini adalah menaikkan batas atas penyaluran pinjaman produktif dari P2P lending menjadi Rp5 miliar. Aturan ini tertuang dalam POJK Nomor 40 Tahun 2024.
“Selain itu, optimalisasi program sinergi untuk mendorong pembiayaan ke luar Jawa dan perluasan jalur distribusi penyaluran pembiayaan kepada sektor produktif dan UMKM,” kata Agusman dalam jawaban tertulis, dikutip Minggu (23/2/2025).
Baca Juga
Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Entjik S. Djafar menilai peluang P2P lending untuk masuk ke pasar UMKM masih sangat besar. Laporan World Bank 2021 menunjukkan jumlah penduduk unbanked di Indonesia mencapai 94,74 juta jiwa atau 48% populasi orang dewasa, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah unbanked terbesar keempat di dunia.
“Market P2P memang ditargetkan kepada masyarakat UMKM yang unbanked dan underserved,” kata Entjik.
Data AFPI mencatat, terdapat 132 juta individu produktif dan 46,6 juta UMKM yang belum terlayani pendanaan konvensional seperti perbankan. Dari jumlah individu produktif tersebut, terdapat kesenjangan kredit sebesar Rp1.650 triliun, sementara kesenjangan kredit untuk UMKM yang belum terlayani diperkirakan mencapai Rp2.400 triliun.
Risiko dan Tantangan Pendanaan
Saat ini, terdapat 97 penyelenggara P2P lending berizin OJK, di mana 48 penyelenggara fokus pada pembiayaan multiguna dan 49 penyelenggara fokus pada pembiayaan produktif. Namun, risiko kredit macet masih menjadi tantangan utama dalam pendanaan UMKM.
Arthur Adisusanto, Country Head Modalku Indonesia, mengakui adanya risiko dalam pendanaan UMKM melalui P2P lending. “Bisnis UMKM bersifat dinamis dan kerap menghadapi tantangan fluktuasi ekonomi yang mempengaruhi daya beli serta cash flow bisnis, yang dapat meningkatkan potensi risiko kredit macet,” ujarnya.
Direktur Utama Modal Rakyat Christian Hanggra menilai tantangan utama pendanaan UMKM adalah kualitas borrower atau peminjam. Ia memprediksi pertumbuhan pembiayaan P2P lending ke segmen UMKM akan melambat pada 2025, seiring dengan kebijakan lembaga pembiayaan yang lebih konservatif dalam menetapkan target pendanaan.
“Karena borrower yang bagus ini memang enggak banyak. Faktor lainnya juga karena bunga acuan masih tinggi di 5,75% oleh Bank Indonesia dan kondisi pasar global yang kurang baik,” kata Christian.
Dari sisi pelaku UMKM, pinjaman P2P lending dinilai memiliki keunggulan dibandingkan kredit bank. Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero mengatakan bahwa meskipun bunga pinjaman bank lebih rendah, pelaku UMKM lebih tertarik dengan pelayanan cepat dari institusi non bank.
“Kalau dilihat penyebab utamanya adalah percepatan pelayanan yang dilakukan perbankan khususnya Himbara dibanding mereka yang non bank, P2P misalnya, atau multifinance. Kalau perbankan, hari ini kita ajukan permohonan, satu minggu sampai dua bulan baru direspons setuju atau tidak. Pelayanannya lambat,” kata Edy.
Menanggapi risiko kredit macet, Edy berpendapat bahwa UMKM merupakan pelaku bisnis yang profesional dan bertanggung jawab terhadap pinjaman yang mereka ambil dari P2P lending.
“Mari belajar, percaya bahwa pelaku UMKM adalah pelaku bisnis yang bertanggung jawab. Kalau kami mendapat bantuan modal kerja, kami mau dan akan bertanggung jawab,” pungkasnya.