Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menilai skema pembagian risiko atau co-payment dalam produk asuransi kesehatan bisa menjadi solusi pengendalian klaim asuransi kesehatan yang terus meningkat seiring adanya inflasi medis.
Fauzi Arfan, Ketua Bidang Produk, Manajemen Risiko dan GCG AAJI menjelaskan bahwa ketentuan co-payment merupakan salah satu instrumen pengendalian klaim yang dirancang secara struktural.
"Dengan keterlibatan biaya dari pemegang polis, maka akan tercipta insentif alami untuk menghindari tindakan medis yang tidak perlu atau over-utilization, terutama untuk layanan rawat jalan yang selama ini mendominasi frekuensi klaim," kata Fauzi, Selasa (3/6/2025).
Co-payment asuransi kesehatan diatur di dalam Surat Edaran OJK No. 7/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Aturan mainnya, produk asuransi kesehatan harus menerapkan co-payment yang ditanggung pemegang polis paling sedikit sebesar 10% dari total pengajuan klaim dengan batas maksimum sebesar Rp300.000 per pengajuan klaim untuk rawat jalan dan maksimum sebesar Rp3 juta per pengajuan klaim untuk rawat inap.
Ketentuan di dalam regulasi baru ini juga memberikan ruang bagi perusahaan asuransi untuk dapat menerapkan batas maksimum yang lebih tinggi sepanjang ada kesepakatan antara perusahaan asuransi dengan pemegang polis atau tertanggung.
Mekanisme co-payment dalam produk asuransi kesehatan ini efektif berlaku 1 Januari 2026.
Baca Juga
"Dengan demikian, rasio klaim kesehatan dapat lebih terkendali dan portofolio produk menjadi lebih berkelanjutan. Ini penting mengingat tren inflasi medis di Indonesia yang terus meningkat. Menurut data MMB Health Trends 2025, inflasi biaya kesehatan telah mencapai 19%, jauh di atas inflasi umum," jelasnya.
Fauzi melihat dalam jangka panjang mekanisme co-payment akan menciptakan keseimbangan yang lebih sehat antara perlindungan nasabah dan kelangsungan bisnis asuransi kesehatan itu sendiri.
Meskipun ada porsi biaya yang harus ditanggung pemegang polis saat melakukan klaim, Fauzi mengatakan sebenarnya ketentuan tersebut tidak dimaksudkan untuk membenani nasabah. Justru menurutnya hadirnya SEOJK 7/2025 merupakan langkah strategis OJK untuk untuk memperkuat tata kelola, transparansi dan keberlanjutan industri asuransi kesehatan.
"Mekanisme co-payment tidak dimaksudkan untuk membebani nasabah, tetapi justru untuk mendorong keterlibatan aktif dalam memilih layanan kesehatan yang tepat guna dan sesuai kebutuhan medis. Hal ini juga bertujuan mengurangi risiko over-treatment yang selama ini menjadi salah satu penyebab naiknya beban klaim," ujarnya.
Bagi industri, Fauzi menilai co-payment juga menjadi tantangan sekaligus peluang untuk memperkuat literasi nasabah. Saat ini, perusahaan asuransi memiliki waktu untuk melakukan sosialisasi dan adaptasi skema co-payment sebelum efektif berlaku mulai tahun depan.
"Perusahaan asuransi diharapkan menggunakan masa transisi ini hingga akhir 2025 untuk mengedukasi pemegang polis dan calon nasabah terkait manfaat dan cara kerja fitur co-payment agar saat aturan mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2026, tidak terjadi kesalahpahaman dan potensi resistensi dapat ditekan," pungkasnya.