Bisnis.com, JAKARTA—Mulai 1 Agustus 2013, operasional 10 perusahaan asuransi yang tergabung dalam Konsorsium Asuransi Proteksi Tenaga Kerja Indonesia dengan satu pialang asuransi dihentikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ke- 10 anggota Konsorsium Asuransi Proteksi TKI antara lain PT Asuransi Umum Mega, PT Asuransi Harta Aman Pratama, PT Asuransi Tugu Kresna Pratama, PT Asuransi LIG, PT Asuransi Raya, PT Asuransi Ramayana, PT Asuransi Artha Nugraha, PT Asuransi Takaful Keluarga, dan PT Asuransi Central Asia Raya sebagai pemimpin konsorsium.
Alasan indikasi penggunaan anggaran yang tidak pas oleh pialang asuransi PT Paladin Internasional, yang merupakan pialang asuransi untuk Konsorsium Asuransi Proteksi TKI menjadi penyebab terhentinya operasional konsorsium itu.
Padahal sejak 2010, tidak hanya perusahaan pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS), TKI, DPR, LSM Migrant Care hingga serikat pekerja/serikat buruh memprotes operasional Konsorsium Asuransi Proteksi TKI.
Protes itu menyusul terbitnya Keputusan Menakertrans No.209/MEN/IX/2010 tertanggal 6 September 2010 yang menetapkan Konsorsium Asuransi Proteksi TKI diketuai oleh PT Asuransi Central Asia Raya dengan sembilan perusahaan asuransi sebagai penyelenggara asuransi TKI.
Sebagai perusahaan yang memberangkatkan calon TKI, PPTKIS wajib membayarkan premi asuransi sebesar Rp400.000, dengan rincian Rp50.000 untuk pra penempatan dan pascapenempatan, dan Rp300.000 untuk asuransi selama bekerja di luar negeri.
Pada 2010 Himpunan Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Himsataki), Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) dan Asosiasi Jasa Perusahaan Tenaga Kerja Indonesia Asia Pasifik (Ajaspac) juga mendesak dicabutnya Kepmenakertrans No.209/MEN/IX/2010.
Hal itu dikarenakan ada dugaan penyalahgunaan dana premi asuransi yang dibayarkan calon TKI, apalagi surat keputusan itu menyuburkan tindakan ilegal, karena PPTKIS maupun TKI belum pernah menerima polis asuransi.
Padahal, polis merupakan kewajiban dan bentuk dari akta perjanjian pertanggungan yang tertulis, sehingga tanpa ada polis, TKI atau PPTKIS sulit mengklaim pertanggungjawaban dari perusahaan asuransi, seperti amanat pasal 16 ayat (2) dan ayat (3), Peraturan Menakertrans No.07/2010 tentang Asuransi TKI.
Akibat semakin tidak jelas pertanggungjawaban Konsorsium Asuransi Proteksi TKI, Himsataki pada 2012 melaporkan kasus-kasus premi dan klaim asuransi tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Ini mungkin langkah selanjutnya untuk mengusut tuntas tentang konsorsium asuransi yang bertahun-tahun sarat dengan pelanggaran penggunaan dana premi dan klaim asuransi milik TKI,” ujar Ketua bidang Etik Himsataki Yunus M. Yamani, Selasa (16/7).
Namun, lanjutnya, pemerintah dalam hal ini Kemenakertrans harus memperhatikan premi dan klaim asuransi yang masih berjalan agar tidak terhenti karena tidak beroperasinya Konsorsium Asuransi Proteksi TKI per 1 Agustus 2013, karena hingga kini masih ada penempatan pekerja ke berbagai negara.
Yunus menilai permasalahan asuransi perlindungan TKI ini sudah sangat parah dan pemerintah, dalam hal ini Menakertrans Muhaimin Iskandar yang harus bertanggungjawab atas keputusannya melegalkan monopoli asuransi hanya pada 10 perusahaan. (bersambung)