Bisnis.com, JAKARTA — Kiprah bank selalu beririsan dengan risiko, baik dalam kegiatan bisnis maupun operasionalnya. Oleh karena itu, risk management yang terintegrasi menjadi penting dalam menghadapi dinamika penyaluran kredit terutama kepada sektor yang kinerjanya fluktuatif.
Sektor pertambangan masuk ke dalam konteks tersebut, yakni bisnis yang relatif rentan gejolak terutama soal harga. Dalam menyalurkan kredit ke lapangan usaha seperti ini maka bank harus taat kepada manajemen risiko masing-masing.
Ekonom PT Bank CIMB Niaga Tbk. Adrian Panggabean mengutarakan bahwa setiap bank memiliki risk appetite sebagai bagian dari cara pengendalian risiko. Batasan diri dalam menerima risiko ini tidak hanya dimiliki kalangan perbankan di dalam negeri melainkan secara global.
“Di dalam risk appetite itu dijabarkan sektor mana yang boleh dimasuki dan sektor mana yang tidak boleh dimasuki. Ada alasan dan argumen kenapa boleh dan kenapa tidak,” katanya saat dihubungi Bisnis, Selasa (20/2/2018).
PT Bank Central Asia Tbk. alias BCA, misalnya, strategi mereka dalam menyikapi risiko kredit pertambangan justru dengan tidak menyentuh lapangan usaha ini. Hal ini sempat diutarakan Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja beberapa waktu lalu.
“Dulu ketika tambang marak [harga tinggi] saja kami tidak masuk apalagi sekarang. Intinya, bank itu [dalam menyalurkan kredit] tidak bisa hanya melihat sesaat, harus ada proyeksi ke depan, apakah bisa sustain dalam jangka waktu lama,” ujar Jahja.
Sejauh ini BBCA menilai pihaknya belum dapat memastikan bahwa perbaikan harga komoditas pertambangan akan terus terjadi untuk jangka waktu lama. Perseroan merasa siklus bisnis mining yang sangat fluktuatif masih sukar ditoleransi.
BCA telah menerapkan Kerangka Manajemen Risiko (Risk Management Framework). Kebijakan Dasar Manajemen Risiko bertujuan untuk memastikan risiko-risiko yang dihadapi perseroan maupun anak-anak usahanya dapat dikenali, diukur, dikendalikan, dan dilaporkan dengan baik.