Bisnis.com, JAKARTA--Keputusan kenaikan suku bunga tersebut merupakan bagian dari langkah kebijakan jangka pendek Bank Indonesia yang memprioritaskan kebijakan moneter pada stabilitas khususnya untuk nilai tukar rupiah.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan respons kebijakan suku bunga akan tetap ditempuh secara pre-emptive, front-loading, dan ahead of the curve untuk stabilisasi nilai tukar rupiah, di samping tetap konsisten dengan upaya menjaga inflasi 2018-2019 agar terkendali sesuai sasaran 3,5±1%.
"Kami akan terus pre-emptive, front-loading, dan ahead of the curve dalam mengantisipasi indikator ekonomi global dan domestik ke depannya," kata Perry, Rabu (30/5).
Selanjutnya, BI akan tetap melakukan intervensi ganda (dual intervention) di pasar valas dan di pasar surat berharga negara (SBN) terus dioptimalkan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah, penyesuaian harga di pasar keuangan secara wajar, dan menjaga kecukupan likuiditas di pasar uang.
Selain itu, Perry memaparkan strategi operasi moneter diarahkan untuk menjaga kecukupan likuiditas khususnya di pasar uang rupiah dan pasar swap antar bank.
Terakhir, BI akan melakukan komunikasi yang intensif khususnya kepada pelaku pasar, perbankan, dunia usaha, dan para ekonom untuk membentuk ekspektasi yang rasional sehingga dapat memitigasi kecenderungan nilai tukar rupiah yang terlalu melemah (overshooting) dibandingkan dengan level fundamentalnya.
Tekanan terhadap stabilitas khususnya nilai tukar Rupiah lebih karena perubahan kebijakan di AS yang berdampak ke seluruh negara, termasuk Indonesia.
Semakin membaiknya perekonomian dan meningkatnya inflasi di AS akan mendorong peningkatan suku bunga the Fed, yang oleh sebagian pelaku pasar keuangan diperkirakan dapat lebih agresif menjadi 4 kali kenaikan dalam tahun ini.
Kenaikan suku bunga yang lebih tinggi juga disebabkan oleh defisit fiskal pemerintah AS yang diperkirakan akan mencapai sekitar 4% dari PDB tahun ini dan 5% tahun 2019.
"Kedua perubahan kebijakan AS tersebut telah memicu kenaikan yield US Treasury Bond dan penguatan mata uang dolar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia."
Ketidakpastian global juga meningkat sehubungan dengan ketegangan hubungan dagang antara AS dan Tiongkok, serta beberapa ketegangan geopolitik regional.
Berbagai faktor global tersebut telah memicu pembalikan modal asing (capital outflow) dan memberikan tekanan pada pasar keuangan di negara maju dan EMEs, termasuk Indonesia, baik penurunan harga saham, meningkatnya yield obligasi, maupun melemahnya nilai tukar terhadap dolar AS.
Ekonomi Indonesia menunjukkan ketahanan yang cukup kuat terhadap tekanan eksternal pada saat ini sebagaimana ditunjukkan pula pada periode-periode tekanan global sebelumnya.
Perry menambahkan kondisi ekonomi Indonesia secara keseluruhan cukup baik sebagaimana asesmen pada RDG Bulanan tanggal 16-17 Mei 2018. Inflasi cukup rendah dan terkendali pada kisaran sasaran 3,5±1%.
"Pertumbuhan ekonomi tetap baik didukung oleh meningkatnya investasi baik bangunan maupun nonbangunan," ujar Perry.
Defisit transaksi berjalan membaik dari triwulan sebelumnya dan untuk keseluruhan tahun 2018 diperkirakan akan di bawah 2,5% dari PDB.
Menurut Perry, stabilitas sistem keuangan juga terjaga dengan penyaluran kredit yang mulai membaik.
Pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan semakin memperkuat koordinasi dan implementasi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan keberlangsungan pembangunan.
Dari sisi Bank Indonesia, Perry mengatakan sejumlah langkah lanjutan sedang dipersiapkan untuk pelonggaran kebijakan makroprudensial dan akselerasi upaya pendalaman pasar keuangan khususnya untuk pembiayaan infrastruktur dari swasta.