Bisnis.com, JAKARTA – Implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional atau SJSN telah memasuki tahun kelima. Namun, pelaksanaan sistem yang diawali dengan terbitnya Undang-Undang No. 40/2004 tentang SJSN ini masih jauh dari kata sempurna.
Sejumlah problem masih mendera perjalanan program ini. Untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) misalnya, defisit atau missmatch dana jaminan sosial (DJS) masih menjadi tantangan saban tahun.
Keluhan terkait dengan layanan dari fasilitas kesehatan yang menjadi mitra BPJS Kesehatan, sebagai pengelola mitra pun masih terus menghiasi pemberitaan berbagai media nasional dan daerah.
Belum lagi problem kepesertaan yang hingga saat ini masih menjadi pekerjaan rumah. Padahal, dalam peta jalan (road map) JKN, kepesertaan ditargetkan harus mencapai 100% dari populasi pada 2019.
Direktur Kepatuhan, Hukum dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan Bayu Wahyudi mengakui hingga saat ini belum 100% badan usaha mendaftarkan karyawannya.
Tak hanya itu, bahkan belum seluruh pekerja BUMN yang dilaporkan kepada pihaknya, kendati perusahaan pelat merah sudah seluruhnya terdaftar. “Sedang verifikasi dan validasi data. Mungkin pekerja yang ini sudah pensiun dan anggota keluarganya siapa saja,” ungkapnya, belum lama ini.
Jumlah peserta dari pekerja bukan penerima upah (PBPU) pun masih belum bisa meningkat signifikan di tengah rendahnya kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan diri dalam program nasional ini. Problem tersebut ditambah dengan kolektabilitas peserta yang rendah.
Kurang lebih 49% peserta PBPU, atau sekitar 13,8 juta jiwa dari total 28,2 juta jiwa, menunggak iuran. Tentu hal ini menjadi problem yang turut bersumbangsih pada ketimpangan pendapata iuran dan beban DJS.
Selain itu, Bayu menambahkan bahwa masih terdapat kendala dari sisi regulasi yang menjadi tantangan penyelenggaraan JKN. Salah satunya, jelasnya, adalah amanat Pasal 17 UU SJSN belum berjalan dengan baik.
Regulai itu menyatakan bahwa besarnya iuran ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai degan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
Besaran iuran, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 28/2016 dan berlaku hingga saat ini, baik bagi penerima bantuan iuran (PBI) maupun untuk peserta lain, khususnya kelas 2 dan 3, masih belum sesuai dengan perhitungan aktuaria.
Berdasarkan perhitungan aktuaria dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada 2015, tarif untuk peserta PBI yang jumlahnya mencapai 92,2 juta jiwa idealnya mencapai Rp36.000.
Padahal, saat ini besaran tarif terakhir yang disesuikan pada 2016 hanya mencapai Rp23.000. Hanya iuran peserta kelas 1 yang sudah sesuai dengan perhitungan aktuaria, sedangkan kelas 2 masih minus Rp12.000 per kepala, dan kelas 3 minus Rp27.500 per kepala.
“Permasalahan struktural yang mendasar dalam program JKN adalah iuran tidak sesuai dengan perhitungan aktuaria sehingga perlu diusulkan kebijakan penyesuaian besaran iuran jaminan kesehatan pada segmen peserta PBI dan peserta PBPU,” ungkapnya.
MASALAH SERUPA
Setali tiga uang. Penyelenggaraan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsosnaker) juga masih diusik permasalahan, khususnya terkait dengan kepesertaan.
Target kepesertaan Jamsosnaker yang ditetapkan dalam roadmap pada 2017 adalah sebanyak 53.325.698 jiwa. Namun, dalam realisasinya sampai dengan Juni 2018 baru mencapai 27.999.455 jiwa atau baru 47,5% dari target.
Direktur Pelayanan BPJS Ketenagakerjaan Krishna Syarif pun mengakui adanya problem perluasan kepesertaan tersebut. Menurutnya, disharmonisasi regulasi yang kian melebar setiap tahun untuk program Jamsosnaker menjadi penyebabnya.
Di bawah dua UU SJSN dan UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, jelasnya, sudah ada banyak regulasi turunan, antara lain 11 peraturan pemerintah, 4 peraturan presiden, 2 keputusan presiden, dan belasan peraturan menteri.
Sejumlah regulasi tersebut dinilai telah menyebabkan kepesertaan terpisah. Adapun, beberapa regulasi itu di antaranya Peraturan Pemerintah No. 66/2017 tentang Perubahan Atas PP No. 70/2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara.
Ada juga Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 18/2016 tentang Jaminan Perlindungan atas Risiko Kepada Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam.
“JKK dan JKM ASN dikelola Taspen. Nelayan dibiayai APBN melalui Permen itu. Jadi, kepesertaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan terfragmentasi,” jelasnya, Selasa (31/7).
Satu regulasi lain yang cukup berdampak signifikan pada implementasi program di lapangan adalah PP No. 60/2015 tentang Perubahan atas PP No. 45/2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua. Regulasi itu memungkinkan peserta untuk mencairkan JHT sesuai dengan besaran saldo.
Menurutnya, regulasi itu telah meningkatkan klaim JHT dan jumlah peserta nonaktif. “Untuk JHT sekitar 11 juta peserta, Jaminan Pensiun (JP) 11,25 juta dan Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian sebesar 24 juta. Namun, banyak yang tidak aktif, yang JP nonaktif sebesar 3,6 juta,” jelasnya.
Berdasarkan survei, Krishna bahkan mengungkapkan sekitar 90% layanan peserta di kantor cabang setiap harinya itu terkait dengan klaim JHT. Alhasil, jelasnya, jumlah peserta program ini naik turun.
Data survei menunjukkan bahwa penarikan dana JHT itu didominasi tenaga kerja usia produktif, terutama golongan umur 24—30 tahun, dengan masa kepesertaan 1—4 tahun. Penarikan dana itu pun didominasi oleh tenaga kerja dengan nilai rerata saldo Rp3 juta.
“PP 60/2015, Pasal 26, Ayat 2 yang kemudian diatur dalam Permenaker 19/2015, Pasal 3, Ayat 3, meningkatkan tren penarikan dini JHT atau early withdrawal yang sangat tinggi,” jelasnya.
Implementasi program JHT dinilai sudah jauh dari tujuan dasarnya yang diamanatkan oleh UU SJSN, yakni untuk menjamin kelangsungan hidup pada hari tua.
Problem lain, sambung Krishna, adalah replacement ratio income yang diperoleh peserta pada program BPJS Ketenagakerjaan hanya mencapai kisaran 15%. Replacement ratio income merupakan rasio pendapatan pekerja saat pensiun dibandingkan dengan nilai gaji yang diterima saat masih aktif bekerja.
Persentase rasio itu masih jauh dari ketentuan minimum yang ditetapkan International Labour Organization (ILO). Organisasi Buruh Internasional itu menetapkan replacement ratio income ideal agar pekerja dapat hidup sejahtera pada masa purnabakti sebesar 40%.
Artinya, bila penghasilan terakhir sebelum pensiun mencapai Rp10 juta, manfaat pensiun yang seharusnya diterima minimal Rp4 juta. “Bila pekerja meninggal, manfaat pensiun yang diterima oleh ahli waris bahkan hanya mencapai dari 50% dari nilai penuh yang diterima peserta.”
REVISI UU SJSN
Ketua DJSN Sigit Priohutomo mengatakan dengan dinamika perkembangan impelementasi SJSN terdapat tingkat urgensi yang sangat tinggi untuk mengkaji kembali UU SJSN dan UU BPJS.
Dua regulasi itu menjadi payung hukum utama penyelenggaran program JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan dan Jamsosnaker yang dijalankan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Menurutnya, sejumlah kelemahan sudah tampak pada kedua beleid itu. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-IX/2011, misalnya, memberikan hak kepada pekerja untuk mendaftarkan sendiri atas tanggungan pemberi kerja.
Ketetapan itu berbeda dengan Pasal 13, Ayat 1, UU SJSN, yang tidak memungkinkan pekerja mendaftarkan diri sendiri. “Beberapa Pasal UU SJSN dan UU BPJS dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Beberapa ketentuan membutuhkan penyesuaian dengan dinamika yang berkembang,” jelasnya.
Menurut Sigit, sebagai lembaga yang dibentuk dan diamanatkan oleh UU SJSN untuk menyelenggarakan SJSN, DJSN telah melakukan kajian hingga penyusunan draf rancangan naskah akademik, draf revisi UU SJSN, dan draft revisi UU BPJS.
Ahmad Ansyori, Anggota DJSN dari unsur tokoh dan unsur ahli, menilai UU SJSN merupakan salah satu produk transformasi.
Ini karena dalam sejarah terbentuknya diawali dengan Amendemen Ke-4 Undang-Undang Dasar 1945 yang memuat Pasal 28 huruf H. Pasal tersebut salah satunya memuat hak atas jaminan sosial sebagai salah satu hak dasar warga negara.
Amandemen itu, jelasnya, diikuti oleh terbitnya UU SJSN yang secara umum bertujuan untuk memenuhi hak tersebut, kendati masih memiliki sejumlah kelemahan.
Sayangnya, sambung Ahmad, terjadi sejumlah disharmonisasi regulasi. Ini dibuktikan dengan terbitnya sejumlah UU dan peraturan turunan lainnya yang menghambat pemenuhan tujuan hak atas jaminan sosial tersebut.
Dia menyebutkan regulasi tersebut antara lain, UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam, serta sejumlah aturan turunannya.
“Kalau ada kelemahan, tetapi upayanya tetap diarahkan pada tujuannya masih bagus. Namun, kalau kemudian lahir UU lain yang menghambat jaminan sosial, sebetulnya ini mau di bawa ke mana?” tegas Ahmad.
Ahmad mengatakan pihaknya sudah berbicara dengan legislator untuk mendorong revisi regulasi ini. Menurutnya, substansi revisi itu mengarah kepada penambahan program jaminan sosial, kejelasan tugas, fungsi, dan wilayah kerja kementerian dan lemba, serta hal-hal lain yang terkait dengan tata kelola.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar juga menyambut baik rencana revisi dua UU tersebut. Apalagi, dia menilai UU SJSN ditetapkan pada masa transisi dan minim partisipasi dari serikat pekerja. UU BPJS, sambung dia, juga ditetapkan dalam rentang waktu yang cukup lama setelah terbitnya UU SJSN.
“Terkait dengan pemabahasannya, serikat pekerja relatif tidak update. Tiba-tiba, disahkan. Artinya regulasi itu ditetapkan tidak dalam kondisi normal.
Oleh karena itu, Timboel menilai sudah sepatutnya revisi regulasi itu wajib melibatkan para pemangku kepentingan terkait, terutama pekerja dan pengusaha. Dengan begitu, harapannya problem menahun yang mengganjal implementasi program SJSN ini sungguh bisa teratasi.