Revisi Penting tapi Bukan Sekarang
Bisnis.com, JAKARTA – Bak gayung bersambut, usulan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) untuk merevisi Undang-Undang No. 40/2004 tentang SJSN dan UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) direspons positif oleh parlemen.
Usulan tersebut rencananya diajukan ke parlemen, dengan harapan lembaga tersebut bisa menginisiasi revisi kedua regulasi itu. DJSN menilai revisi peraturan terkait SJSN dan BPJS sudah selayaknya dilakukan agar penyelenggaraan program jaminan sosial bisa berjalan dengan lebih baik.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay menyatakan pada dasarnya Komisi IX selaku komisi yang menangani masalah kesehatan dan ketenagakerjaan menyambut baik usulan revisi UU SJSN dan UU BPJS.
Namun, hingga saat ini pihaknya belum menerima surat pengajuan resmi terkait dengan usulan revisi kedua peraturan tersebut. “…untuk tindaklanjutnya perlu adanya surat resmi,” kata Saleh.
Menurutnya, revisi kedua regulasi tersebut memang harus segera dilakukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang masih sering terjadi dalam pelaksanaan program jaminan sosial.
Persoalan-persoalan itu seperti masalah birokrasi penyelenggaraan jaminan kesehatan dan masalah defisit dana jaminan sosial kesehatan.
Meski mengakui ada urgensi untuk merevisi UU SJSN dan BPJS, Saleh tidak dapat menjamin bahwa pembahasan revisi kedua peraturan tersebut bisa diselesaikan pada periode kepengurusan Komisi IX yang segera berakhir.
Anggota Komisi IX DPR Irma Suryani juga mendorong adanya revisi UU SJSN dan UU BPJS. Dia menilai sebanyak apapun anggaran kuratif yang dilakukan, tanpa melakukan promosi dan preventif, maka anggarannya akan terus defisit.
Selain itu, dia juga merasa BPJS belum benar-benar transparan dalam pengelolaan terkait kontrol dan sistem IT yang mampu mengatasi permasalahan di lapangan selama ini. Padahal, dengan proses verifikasi manual—yang selama ini dijalankan—sangat rawan terjadi tindak korupsi dan pemborosan yang dilegalkan.
“Sampai saat ini, subsidi silang yang diharapkan tidak membantu, bahkan orang-orang mampu yang seharusnya tidak disubsidi justru lebih banyak menggunakan BPJS untuk penyakit yang berat-berat,” ujarnya.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengingatkan agar jangan sampai rencana revisi beleid itu dipaksakan selesai pada tahun ini hanya untuk dijadikan komoditas politik menjelang Pemilihan Presiden pada 2019.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Kamis (2/8/2018)