Bisnis.com, JAKARTA—PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. mencatatkan penyaluran kredit infrastruktur senilai Rp125,6 triliun pada 2018. BRI sudah menyasar sejumlah proyek baru yang akan dibiayai pada tahun ini.
Executive Vice President Divisi BUMN 1 BRI, I Made Suka mengatakan pada tahun ini BRI sudah menyasar beberapa poyek infrastruktur yang akan dibiayai secara sindikasi. Rencana kredit masih berfokus pada proyek jalan tol.
“Sindikasi sama teman-teman [Bank BUMN], biasa kami kolaborasi, kalau sendiri tidak kuat. Ada tol Trans Sumatra, ada tol Trans Jawa. Kalau Trans Jawa ada Solo—Ngawi, ada Probolinggo—Banyuwangi. Itu mencakup semuanya, dana talangan tanah, konstruksi, sama investasinya,” jelasnya di Jakarta Selasa (19/2/2019).
Selain itu, BRI menyasar proyek infrastruktur di jalan tol Balikpapan—Samarinda di Kalimantan. Pemberian kredit akan dilakukan secara sindikasi dengan jenis kredit investasi. Dalam berbagai proyek tersebut, lanjutnya, BRI akan berpartisipasi sekitar 15%—20% dari total kredit.
Adapun, sepanjang tahun lalu penyaluran kredit infrastruktur perseroan lebih banyak diberikan kepada proyek jalan tol dan konstruksi sebesar Rp48,5 triliun. Selebihnya, total kredit tersebar ke dalam sektor minyak dan gas bumi, telekomunikasi, transportasi, dan ketenagalistrikan.
Menurutnya, kapabilitas BRI dan bank-bank BUMN lain dalam memberikan kredit infrastruktur masih terbatas dan belum memenuhi nilai yang dibutuhkan oleh pemerintah. Ke depan, pemerintah harus mencari sumber dana alternatif untuk menutupi kebutuhan tersebut.
Made menuturkan, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberi pemanis bagi para pemilik dana yang selama ini memarkir dananya di luar negeri. Menurutnya, dana tersebut akan memberi dampak cukup besar terhadap pembiayaan infrastruktur di Indonesia.
“Banyak pengusaha kita yang sebenarnya uanmgnya di luar negari, bisa dikasih sweetener supaya bisa masuk ke dalam negeri masuk ke infrastruktur,” ujarnya.
Selain itu, dari proyek infrastruktur yang dibangun pemerintah, menurutnya perlu dipertimbangkan pula pengembangan wilayah tersebut untuk semakin menarik hati investor. Menurutnya hal itu perlu dirumuskan dalam pertimbangan pembangunan wilayah yang lebih terpadu.
“Misalnya kereta cepat itu arus kasnya saja tidak cukup, tapi harus menghitung pengembangan wilayahnya. Sehingga ada kompensasi, karena jujur memang pembangunan kita itu tidak terpadu. Baru dipadukan ini mendadak,” jelasnya.
Selain itu, dia mendorong agar regulator memberikan relaksasi terkait aturan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) kepada korporasi BUMN dan non-BUMN. Terlebih dengan adanya rencana pembentukan holding infrastruktur dan perumahan, dengan BMPK yang ada, perbankan sulit memenuhi kebutuhan pembiayaan.
Sejauh ini, berdasarkan aturan yang berlaku BMPK untuk perusahaan BUMN adalah 30% dari total modal bank. Adapun, besaran BMPK yang diberlakukan untuk korporasi swasta adalah 20% dari total modal bank.
“Holding BUMN infrastruktur, itu juga mungkin bisa membatasi ruang gerak dari perbankan, terhadap BMPK, karena begitur digabung nanti, holding perumahan dan infrastruktur itu kan satu grup, BMPK-nya sama. Jangankan untuk membiayai, kalau holding itu jadi, akan ada klelebihan [dana], itu akan dijual kemana? Makanya, itu perlu relaksasi di sana,” tuturnya.