Bisnis.com, JAKARTA - Apakah Anda termasuk yang masih ragu dalam berinvestasi, tetapi seringkali tak pikir panjang menyambar diskon barang-barang di suatu e-commerce?
Tak bisa dipungkiri bahwa tawaran demi tawaran barang-barang konsumtif yang berseliweran di layar ponsel, jika tak diantisipasi dengan baik bisa menjadi bencana keuangan personal.
Di sisi lain, dalam pengelolaan keuangan personal, investasi menjadi salah satu instrumen yang menentukan tercapainya tujuan jangka panjang seseorang. Namun demikian, seringkali kebutuhan untuk berinvestasi kalah oleh kebiasaan konsumtif.
Head Head of Sales & Marketing PT Bareksa Portal Investasi (Bareksa) Rani Sumarni Laisila mengatakan, kebiasaan menunda keputusan berinvestasi banyak menjangkiti kaum milenial. Rani berpendapat, milenial menghadapi godaan besar dari barang-barang konsumsi karena kesehariannya yang lekat dengan gawai dan e-commerce. Rani melanjutkan, sebanyak 45% dari nasabah Bareksa berusia 24-35 tahun. Ketertarikan untuk berinvestasi menurutnya cukup tinggi, hanya saja kebiasaan menunda menjadi kendala.
"Mereka sebenarnya sangat tertarik untuk berinvestasi, cuma kendalanya selalu menunda-nunda, untuk beli investasi masih mikirnya panjang," kata Rani.
Masyarakat Indonesia, berdasarkan data, memang belum bergerak dari saving society. Terbukti dengan jumlah dana pihak ketiga perbankan yang hingga akhir tahun lalu mencapai Rp5.630,45 triliun. Sedangkan dana kelolaan pasar modal per Februari 2019 hanya mencapai Rp765 triliun.
Rani mengakui bahwa sekitar 70% masyarakat Indonesia menyimpan uangnya di bank. Hal ini sangat berbeda dengan iklim di negara-negara yang ekonominya sudah maju, bahwa investasi sudah menjadi gaya hidup. Dia melanjutkan, gaya hidup minum kopi di kalangan anak muda masa kini bisa ditarik sebagai contoh bagaimana kebiasaan konsumsi masih lebih dominan dibandingkan investasi.
"Berapa biaya ngopi sehari dalam satu bulan? Kenapa kita tidak bisa membeli produk reksadana, misalnya, yang sudah sangat terjangkau?" ujarnya.
Menurut Rani, di era ekonomi digital dimana pemerintah dan banyak stakeholder telah menawarkan investasi yang mudah dan murah, sikap ragu dan menunda-nunda sudah selayaknya tak menjadi halangan.
Co-Founder & CEO Halofina, Adjie Wicaksana menambahkan, investor milenial Indonesia tersebar di berbagai instrumen, bahkan hingga produk-produk yang belum diregulasi seperti Bitcoin dan cryptocurrency lainnya. Namun, produk-produk konvensional berbasis pasar modal memang mendominasi.
Dia melanjutkan, milenial sebagai investor cenderung mengambil risiko tinggi dan lebih terkoneksi terhadap sumber-sumber informasi sebagai bahan komparasi dan pengambilan keputusan dalam membangun strategi investasi. Namun dia menekankan, sikap yang harus dimiliki oleh investor milenial adalah sadar terhadap prinsip antara risiko dan besarnya imbal hasil atau return.
"Secara prinsip, 'high risk, high return, low risk, low return'. Jadi kalau kalau misalnya ingin low risk, high return, dalam investasi itu ada satu ungkapan, 'if it's too good to be true, it's probably not true’. Makanya banyak sekali orang Indonesia terjebak investasi bodong," jelasnya.
Milenial, lanjutnya, perlu memahami prinsip-prinsip dasar dalam berinvestasi agar tak terjebak dalam investasi bodong. Selain itu, mentalitas perencana juga penting dimiliki oleh investor.
Adjie pun sepakat bahwa konsumerisme menjadi salah satu tantangan milenial untuk menjadi sadar akan kebutuhan jangka panjang dan pentingnya perencanaan. Adjie menekankan, harus terpatri dalam benak milenial bahwa ada kebutuhan-kebutuhan jangka panjang yang harus direncanakan. Ada pula inflasi yang setiap tahun akan menggerus kekayaan setiap orang.
"Ketika seseorang sudah mulai berpikir soal kebutuhan jangka panjang, itu akan menjadi dorongan bagi dia untuk mulai merencanakan yang harus dia bangun dari sekarang," Ujar Adjie.