Bisnis.com, JAKARTA - Memberi angpau atau amplop berisi sejumlah uang kepada anak saat Hari Raya Lebaran seperti sudah membudaya dan menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia. Bahkan tidak hanya pada saat Lebaran, hari perayaan lain pun seringkali dibubuhi dengan pemberian angpau.
Sekilas mungkin tidak ada yang salah dengan memberi sedikit bagian dari penghasilan dan tunjangan hari raya Anda kepada sanak kerabat yang masih di bawah usia. Namun di kalangan praktisi pendidikan dan keluarga, hal ini memunculkan pro-kontra mengenai unsur mendidik dari kebiasaan ini.
Jika anak dibiarkan untuk menerima pemberian secara cuma-cuma, yang muncul nantinya adalah mental peminta-minta. Demikian pendapat kalangan yang menolak pemberian angpau Lebaran pada anak.
Psikolog anak dan remaja Samantha Ananta menjelaskan, anak-anak baru mengenal konsep pemberian konkret saat dia berusia 7 tahun. Maka di usia tersebut tepat pula jika mulai diajarkan mengenai penggunaan uang dan bagaimana cara mendapatkan uang.
Samantha berpendapat angpau saat hari raya Lebaran tidak ada salahnya diberikan jika orang tua memberikan penjelasan mengenai alasan di balik pemberian tersebut.
Hal tersebut agar anak paham bahwa angpau sifatnya adalah bonus. Jika angpau diberikan sebagai pemberian yang dilakukan sebagai hadiah tanpa mengharapkan imbalan, anak akan paham makna berbagi.
Namun, jika angpau diberikan sebagai imbalan karena anak berhasil berpuasa selama 1 bulan, saya pikir orangtua perlu memikirkan dampak jangka pangjang dari penerapan pola asuh ini.
"Sebab, makna berpuasa untuk anak menjadi berkurang atau bahkan hilang karena anak akan belajar 'berpuasa maka dapat uang'. Bagaimana saat dia nanti dewasa, ketika orangtua tidak lagi memberikan hadiah berupa angpau, jika anak sudah di usia wajib puasa?" ujar Samantha.
Maka dia lebih menyarankan pemberian angpau atas dasar hadiah tanpa mengharapkan imbalan.
Konsultan Keluarga dan Praktisi Pendidikan, Wasmin Al Risyad berpendapat lain. Menurutnya dalam pendidikan keluarga, ada konsep pemberian yang harus benar-benar diterapkan. Jika konsep ini hilang dari aktivitas pemberian sesuatu kepada anak, maka prinsip reward-punishment akan menjadi kabur.
"Intinya pemberian harus berkonsep dan mesti bermakna. Kalau pemberian yang tidak ada artinya, itu akan menciptakan mental merasa berhak," kata Wasmin.
Dia menjelaskan ada tiga konsep di balik pemberian yang bisa diterapkan kepada anak. Pertama, kewajiban, yakni pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan dari orang tua.
Kedua, hadiah, yang diberikan karena prestasi dan pencapaian tertentu. Prestasi ini tidak harus dalam hal akademik, misalnya lebih disiplin bangun pagi, lebih percaya diri tampil di depan umum, dan sebagainya.
Ketiga, imbalan, artinya diberikan ketika anak melakukan sesuatu yang bukan kewajibannya. Karena puasa adalah kewajiban, untuk anak yang sudah berusia baligh, maka tidak tepat pemberian angpau sebagai imbalan.
Menurut Wasmin, jika pemberian angpau terlepas dari tiga makna di atas, maka ke depan orang tua akan menemukan kesulitan dalam memotivasi anak untuk berbuat baik atau mencapai sesuatu.
Dia biasa menyiasati kebiasaan pemberian angpau ini dengan menggelar lomba kecil-kecilan saat mudik Lebaran. Pesertanya adalah para keponakan dan sanak kerabat yang masih di bawah umur. Angpau diberikan sebagai hadiah dari lomba tersebut. Selain itu, kerabat dewasa lain yang tidak berkesempatan untuk mudik bisa menyumbangkan uangnya untuk menambah jumlah hadiah.
Tim Jelajah Jawa-Bali 2019: Yustinus Andri, Muhammad Ridwan, Andi M. Arief, Maria Elena, Reni Lestari