Bisnis.com, JAKARTA—Bank Dunia mencatat akses finansial secara global naik signifikan dalam kurun waktu 6 tahun. Asia Selatan menjadi wilayah dengan pertumbuhan rekening baru paling tinggi di antara regional lainnya.
Berdasarkan data tersebut, Asia Timur dan Pasifik masih menjabat sebagai wilayah dengan akses finansial tertinggi. Sebanyak lebih dari 70% penduduk berusia 15 tahun ke atas di kawasan yang juga termasuk Indonesia di dalamnya itu telah memiliki rekening bank.
Namun, rupanya Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan para negeri jiran. Berdasarkan catatan Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Destry Damayanti, hanya 47% penduduk berusia 15 tahun lebih yang memiliki rekening di bank.
Meskipun lebih rendah dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia Pasifik, tetapi capaian itu sudah jauh lebih baik. Pasalnya, pada 2011, hanya kurang dari 20% penduduk berusia 15 tahun lebih yang memiliki akses ke lembaga keuangan formal.
Alasan rendahnya akses keuangan ke lembaga formal pun beragam. Mulai dari belanja modal dan biaya operasional untuk mendirikan kantor cabang hingga tidak bergeraknya pertumbuhan ekonomi di suatu daerah tertentu.
Belakangan masalah absennya kantor cabang di daerah tertentu sudah mulai terurai. Mengutip data Bank Indonesia pada 2012 Jawa dan Kalimantan memiliki jumlah kantor cabang per 100.000 penduduk dewasa terbanyak.
Baca Juga
Sumatra, Bali dan Nusa Tenggara, Sulawesi, serta Maluku dan Papua jauh tertinggal pada masa itu. Jumlah kantor cabang per 100.000 penduduk dewasa di lima wilayah ini pun berada di bawah rata-rata nasional.
Per April 2019, Kalimantan masih menjadi yang tertinggi meninggalkan yang lain. Akan tetapi, lima wilayah yang sebelumnya tertinggal dalam hal ketersediaan akses lembaga keuangan tidak lagi berbeda jauh dari Pulau Jawa.
Rupanya hal itu pun membawa angin segar bagi pendalaman keuangan di Tanah Air. Setelah sepanjang 2018, jumlah rekening DPK perbankan hanya tumbuh 1 digit, per April 2019 tumbuh 11,01% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi 307,91 juta akun.
Pertumbuhan itu membuat rasio rekening dana pihak ketiga (DPK) per 1.000 penduduk kembali mengalami kenaikan berarti. Per April 2019, jumlah rekening DPK per 1.000 penduduk sebanyak 1.558 atau tumbuh 9,3% yoy.
Akan tetapi, inklusi keuangan bukan hanya bicara perburuan likuditas. Akan tetapi, juga semestinya menambah jumlah debitur baru untuk membuat roda perekonomian berputar lebih kencang.
Bank Indonesia mencatat, rasio rekening kredit sejak tahun lalu akhirnya bergerak positif. Sebelumnya, sepanjang 2015—2017, jumlah rekening kredit perbankan per 1.000 penduduk dewasa tidak bergerak dari angka 222.
Melanjutkan tren positif tahun lalu, per April 2019, rekening kredit bank per 1.000 penduduk naik 4,5% yoy, menjadi 232 akun. Capaian yang patut diapresiasi, tetapi masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan.
Menurut Desti pertumbuhan rekening kredit dalam satu tahun terakhir lebih disebabkan oleh gencarnya penyaluran kredit usaha rakyat (KUR). Artinya, kepercayaan diri masyarakat menjadikan bank sebagai sumber pendanaan bangkit karena mendapat subsidi bunga dari pemerintah.
“Ini jadi tantangan regulator sektor keuangan. Semua harus kerja sama,” katanya kepada Bisnis, Selasa (9/7/2019).
Selain antara pemerintah dan bank, ekosistem kerja sama antara lembaga formal pemilik fungsi intermediasi dengan perusahaan finansial berbasis teknologi (tekfin) juga harus dipelihara.
“Tekfin telah terbukti punya kapabilitas untuk menjangkau masyarakat hingga ke daerah pinggiran, asal ada jaringan telekomunikasi yang bagus di situ,” tambahnya.
Hal senada juga sempat disampaikan oleh Asisten Deputi Direktur Eksekutif Departemen Sistem Pembayaran Bank Indonesia Susiati Dewi. Inklusi keuangan dapat tumbuh lebih kencang apabila pemanfaatan data tekfin oleh perbankan dilakukan optimal.
Bank sentral tengah melakukan sejumlah diskusi dengan pihak-pihak terkait hal tersebut. Data-data fintek yang dapat diolah bank harus dipastikan tidak keluar dan dimanfaatkan oleh pihak lain, sehingga tidak menimbulkan masalah baru, seperti privasi nasabah misalnya.
Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Haru Koesmahargyo mengamini bahwa bank memegang tanggung jawab penting untuk memperdalam akses keuangan masyarakat. Perkembangan teknologi digital pun akan membuat hal tersebut menjadi lebih mudah.
“Pasarnya masih sangat luas. Ada ratusan triliun yang masih pegang tunai. Itu tugas bank agar itu menjadi sumber likuiditas dan sekaligus mendistribusikan dalam bentuk pembiayaan,” katanya.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economy (CORE) Piter Abdullah mencatat Inklusi keuangan di Indonesia masih terfokus kepada penyerapan DPK. Penyaluran kredit masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak boleh ditunda.
“Melalui inklusi keuangan masyarakat didorong menabung. Tapi penyaluran kredit masih sangat terbatas khususnya di daerah luar jawa,” katanya.
Adapun pada 7 tahun lalu, indeks inklusi keuangan di Indonesia sekitar 59%, sedangkan pada 2017 telah melesat menjadi 69%. Tahun ini pemerintah berambisi dapat menyentuh 75%.
Namun, bicara pendalaman akses finansial masyarakat rasanya tidak lagi bicara perbankan secara konvensional. Seperti yang ditekankan oleh Destry bahwa kerja sama bank dengan tekfin menjadi penting untuk menyambut era yang akan datang.
Harapannya inklusi keuangan bukan hanya menambah likuiditas, tapi juga pemerataan penyaluran kredit hingga wilayah yang hampir menyentuh luar batas.