Bisnis.com, JAKARTA - Kita patut bersyukur bahwa bangsa Indonesia telah melewati Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dengan baik. Terkurasnya energi bangsa ini pada masa perhelatan Pemilu 2019 dan sikap wait and see dari pasar, telah menyebabkan aktivitas ekonomi di beberapa sektor mengalami penurunan.
Industri pembiayaan kendaraan bermotor, sebagai salah satu pelaku ekonomi, juga terkena dampak atas kondisi tersebut.
Penurunan penjualan mobil domestik pada semester I/2019 sebesar 13% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu (sumber data: Gaikindo) dan pelemahan harga batu bara yang berdampak langsung terahadap penurunan penjualan alat berat, menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaan pembiayaan atau multifinance yang bermain di sektor ini.
Mungkin ceritanya akan sedikit berbeda pada pasar sepeda motor yang tidak mengalami penurunan dan diprediksi akan tetap bisa menyamai angka penjualan sepanjang 2018, yang berada di kisaran 6 juta—6,3 juta unit.
Kendati demikian, industri pembiayaan seharusnya dapat tetap optimistis dalam melanjutkan usaha pada semester II/2019.
Jika kita mengutip beberapa data semester I/2019 yang disampaikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), keseluruhan piutang dari perusahaan pembiayaan sebenarnya masih bertumbuh 4,29% secara tahunan (year-on-year/y-o-y).
Selain itu, rasio pembiayaan bermasalah pada perusahaan pembiayaan masih berada di level stabil, yaitu 2,82 %. Bank Indonesia (BI) juga telah menurunkan suku bunga acuan ke level 5,75% pada Juli 2019.
Sentimen suku bunga global yang positif, di mana The Fed dan bank-bank di Eropa diberitakan juga berencana untuk menurunkan tingkat suku bunga untuk lebih menggairahkan ekonomi global.
Kita juga patut mengapresiasi langkah OJK yang telah menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Perusahaan Pembiayaan, untuk terus memajukan usaha, menggairahkan pasar, serta memperluas ruang gerak perusahaan pembiayaan.
Di samping POJK no.35, OJK juga meluncurkan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) pada 2019 yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan pembiayaan untuk mendapatkan akses data nasabah secara cepat dan lengkap. Fasilitas ini tentunya sangat membantu dalam mempercepat proses analisis pembiayaan di perusahaan pembiayaan, dan juga dapat mendorong tingkat kesehatan perusahaan yang lebih baik.
Persaingan yang makin kompetitif dan kian beragamnya permintaan dari konsumen mendorong setiap perusahaan pembiayaan untuk memikirkan langkah strategis yang harus diambil untuk dapat tetap tumbuh dan bertahan di era digital ini.
Disruptor-disruptor dari sektor ini sendiri, juga mengandalkan dan menawarkan teknologi terkini dengan berbagai kemudahannya untuk konsumen. Mulai dari aplikasi ride-hailing yang pertumbuhannya mencapai dua digit per tahun, dan sangat diserap oleh pasar di Indonesia secara cepat.
Persentase angka pengguna internet yang menggunakan layanan ride-hailing di Indonesia sendiri berada di level yang sangat tinggi, di angka 52%, jauh di atas angka rata-rata dunia yang berada di kisaran angka 30%.
Bahkan, salah satu layanan ride-hailing terbesar di Asia, Grab, sudah menyatakan bahwa pasar terbesar mereka saat ini berada di Indonesia (sumber: Global Digital Report 2019).
Disruptor lainnya dengan pertumbuhan yang sangat cepat, adalah perusahaan penyedia dana berbasis online atau yang lebih kita kenal dengan sebutan teknologi finansial (financial technology/fintech).
Jumlah perusahaan fintech terus meningkat dari tahun ke tahun. Per Mei 2019, sudah terdapat 113 perusahaan fintech yang beroperasi di Indonesia (sumber: OJK).
Penyaluran dana dari perusahaan fintech juga terus mengalami peningkatan. Per Juni 2019, Bank Indonesia mencatat pembiayaan melalui perusahaan fintech sudah mencapai Rp8,3 triliun atau tumbuh 274% dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018.
Meskipun terlihat sebagai ancaman, kondisi ini dapat juga dilihat sebagai suatu peluang, di mana masih banyak kebutuhan akan dana melalui moda pembiayaan dengan akses yang mudah.
Dalam sebuah teori, ada beberapa pendekatan yang bisa dipakai untuk mengklasifikasikan perusahaan pembiayaan kendaraan bermotor. Salah satu cara yang kerap digunakan adalah dengan melihat afiliasi perusahaan pembiayaan tersebut dengan produsen kendaraan atau afiliasi dengan perbankan yang relatif berada pada kendali yang sama.
Pada kenyataannya, perusahaan pembiayaan yang memiliki afiliasi yang kuat akan lebih mampu untuk menawarkan produk pembiayaan yang lebih baik kepada konsumen dan pada gilirannya juga mampu memiliki skala bisnis yang lebih besar.
Namun, perkembangan teknologi dan perubahan perilaku konsumen yang maju cukup pesat dalam memilih kendaraan perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan model bisnis perusahaan pembiayaan ke depan. Apakah model pembiayaan tradisional seperti sekarang ini masih akan tetap dapat bertahan?
Tantangan masa depan dari industri pembiayaan tidaklah terlepas dari masa depan industri kendaraan bermotor itu sendiri.
Perhelatan akbar otomotif nasional, Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2019 ini mengangkat tema Future In Motion yang memberikan gambaran tentang transformasi dan inovasi di dalam industri otomotif ke depan. Atas dasar itu, kapabilitas baru untuk beroperasi secara digital, perlu dimiliki oleh perusahaan pembiayaan ke depan.
Usaha untuk meningkatkan efisiensi operasi dan efektivitas kualitas kredit tanpa mengurangi (bahkan menambah) kepuasan konsumen makin dimungkinkan dengan berbagai teknologi-teknologi digital yang berkembang saat ini.
Berkembangnya teknologi perangkat keras dan lunak (hardware dan software) dan alogaritma baru akan menentukan strategi digital perusahaan sebagai salah satu cara untuk dapat menyelaraskan perkembangan bisnis.
Tanpa hal tersebut, rasanya sulit membayangkan perusahaan pembiayaan untuk dapat terus ikut berkompetisi pada masa depan.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin (29/7/2019)