Bisnis.com, JAKARTA – Nada bicara yang tinggi akhirnya tidak bisa ditahan lagi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Dirinya menumpahkan kekesalannya soal BPJS Kesehatan yang selalu merugi sejak didirikan pada 2014 lalu.
Air muka eks Direktur Pelaksana Bank Dunia yang awalnya tenang lama kelamaan berubah menjadi rona kekesalan bercampur kekecewaan saat dirinya terus dihujani pertanyaan dari anggota Komisi XI DPR. Peristiwa itu terjadi saat rapat kerja (raker) bersama Komisi XI mengenai pengesahan DIM RUU Bea Materai dan BPJS Kesehatan di ruang ruang rapat Komisi XI, Jakarta, Rabu (21/8/2019).
Sri Mulyani menuturkan BPJS diberi wewenang, hak, dan kekuasaan sebagai perusahaan penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN KIS) untuk mengambil tindakan tegas apabila ada pengguna yang tidak disiplin dalam membayar iuran.
“Kewajiban peserta itu membayar iuran, yang tidak mampu ditanggung pemerintah. Yang mampu harus membayar. Kalau [BPJS Kesehatan] tidak melakukan enforcement, ya tidak tertagih,” ungkapnya.
Kesulitan lain, lanjutnya, adalah dirinya tidak bisa memberi sanksi kepada BPJS Kesehatan apabila defisit terus menerus terjadi.
Selain itu, dia mengatakan tugas menteri keuangan hanya berurusan dengan JKN KIS bila ada anggaran yang harus dialokasikan dalam program ini. Namun, menurutnya, kondisi saat ini justru amat berbeda. Sejumlah pihak menyalahkan pemerintah, khususnya kinerjanya sebagai Menteri Keuangan, karena masalah defisit yang tak kunjung usai.
“Nanti dengan mudah saja datang ke Kementerian Keuangan. Lebih mudah nagih dan minta bantuan ke Menteri Keuangan daripada nagih pengguna. Semua orang bicara seolah-olah Menteri Keuangan yang belum bayar," tegasnya.
"Padahal kami sudah bayar dan memberi bantuan. Tapi kami dianggap yang menjadi salah satu persoalan,” lanjutnya dengan nada tinggi di hadapan anggota dewan.
Menurut data Kementerian Keuangan, BPJS tidak pernah mencatat transaksi positif sejak didirikan. Pada 2014, nilai defisit berada di posisi Rp1,9 triliun. Setahun kemudian, angka tersebut naik hampir lima kali lipat yaitu Rp9,4 triliun.
Angka tersebut kemudian menurun pada 2016 dengan defisit senilai Rp6,7 triliun sebelum meroket pada nilai Rp10,8 triliun. Defisit terbesar dicatatkan pada 2018 dengan total Rp19,4 triliun.