Bisnis.com, JAKARTA — Relaksasi rasio loan to value/financial to value (LTV/FTV) sekaligus pemangkasan suku bunga acuan menjadi sentimen positif bagi sektor properti dan otomotif, serta industri manufaktur lainnya, di tengah kondisi pasar yang masih lesu.
Namun, efek paling cepat dari kebijakan ini baru akan dirasakan pada kuartal I/2020. Pasalnya, transmisi penurunan suku bunga kredit masih memerlukan waktu, setidaknya dalam beberapa bulan ke depan.
Kepala Riset Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Lando Simatupang menilai keputusan Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan sudah tepat. Namun, kebijakan ini diprediksi tak bisa langsung berdampak ke peningkatan pembiayaan.
Efek pemangkasan suku bunga dan relaksasi LTV, sambungnya, bisa tertunda lantaran ada persoalan likuiditas di bank dan ketidakpastian pelaku usaha di sektor riil.
“Transmisi penurunan suku bunga kredit masih perlu waktu. Masih banyak ketidakpastian,” ujarnya, Jumat (20/9).
Rasio LTV merupakan angka perbandingan antara nilai pinjaman yang dapat diberikan oleh bank terhadap nilai agunan berupa properti pada saat pemberian kredit.
Baca Juga
Skema LTV/FTV membuat uang muka kredit kendaraan bermotor dan properti turun. Bank Indonesia menyebut uang muka KPR turun 5 persen dan untuk kendaraan bermotor turun 5 persen-10 persen per 2 Desember 2019.
Ekonom Indef Bhima Yudistira menjelaskan kondisi likuiditas bank yang masih ketat bisa membawa efek negatif dari langkah BI tersebut.
Menurut analisanya, bank akan menjaga likuiditas terlebih dahulu sebelum menyusun rencana peningkatan fungsi intermediasi.
Sementara itu, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. Jahja Setiaadmadja meyakini relaksasi LTV dapat menggerakkan kredit properti. Namun, hal itu bisa terjadi dengan catatan daya beli masyarakat membaik.
“LTV akan kami sesuaikan dengan profil kredit nasabah, yang penting sudah ada dukungan dari BI, pelaksanaan akan disesuaikan dengan risk appetite masing-masing bank.”
Hal senada diungkapkan oleh Direktur Retail Banking PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Donsuwan Simatupang.
Menurut dia, faktor permintaan akan menjadi kunci penentu kembali normal atau tidaknya pembiayaan rumah serta kendaraan bermotor.
“Persoalan KPR [kredit pembiayaan rumah] itu seperti KKB [kredit kendaraan bermotor] juga, market-nya yang masih kami tunggu. Tumbuh, tetapi belum normal dan isunya sekarang bukan suku bunga atau LTV.”
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Juda Agung mengatakan pelonggaran rasio LTV/FTV untuk kredit atau pembiayaan properti dan kendaraan bermotor bertujuan untuk mendorong penyaluran KPR dan KKB. “Saat ini, memang ada kecenderungan kredit perbankan mengalami perlambatan.”
Indikasi perlambatan kredit di sektor tersebut terlihat dari data Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut data itu, pembiayaan KPR bank umum hingga Juni 2019 tumbuh 12,27% secara year-on-year (yoy) menjadi Rp465,90 triliun. Tingkat pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu, saat penyaluran KPR tumbuh 13,07% secara yoy di pengujung paruh pertama 2019.
Tren serupa juga terjadi di penyaluran KKB. Hingga akhir Juni 2019, pembiayaan kendaraan bermotor tumbuh 6,71% menjadi Rp142,12 triliun. Kenaikan ini lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada semester I/2018 yang mencapai 8,51%.
PENYESUAIAN KEBIJAKAN
Setelah penyesuaian suku bunga dan relaksasi LTV/FTV, Direktur Bisnis Konsumer PT Bank Negara Indonesia Tbk. Anggoro Eko Cahyo mengatakan perbankan perlu menyesuaikan kebijakan kredit konsumsi terlebih dahulu baik dari sisi bunga maupun persyaratan kredit.
“Kami yakin permintaan kredit properti akan meningkat dpada 2020 nanti.”
Direktur Finance, Treasury & Strategy PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Nixon L.P. Napitupulu meyakini relaksasi LTV oleh BI bisa membuat KPR lebih bergairah.
Relaksasi ini dianggap memberi insentif bagi perseroan yang tengah menjalankan konsolidasi dalam bisnis nonsubsidi. “Buat KPR nonsubsidi pasti berpengaruh. Ini akan mendorong penjualan, dan penyaluran kreditnya.”
Meski optimistis, Nixon mengakui pasar kredit properti saat ini masih tertekan. Dia menyebut banyak rumah baru yang tidak terserap pasar, sementara hunian-hunian sekunder tak banyak berkembang pembeliannya oleh masyarakat.
Sementara itu, pelaku industri menilai penurunan suku bunga acuan merupakan langkah yang baik. Namun demikian, mereka pesimistis dampaknya akan signifikan.
Pasalnya, penurunan tersebut tidak akan serta-merta menyebabkan suku bunga pinjaman korporasi turun.
Sekjen Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Wirawasta berharap transmisi ke penurunan suku bunga pinjaman segera terjadi.
Adapun, Ketua Umum Indonesia Iron and Steel Indusrty Association (IISIA) Silmy Karim berharap pemerintah berperan aktif untuk mempercepat transmisi tersebut.