Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan bankir mengungkapkan bahwa tahun ini adalah periode yang sulit untuk penyaluran kredit pemilikan rumah atau KPR. Namun, hadirnya program FLPP diklaim mampu menjadi oase di tengah keringnya gurun pasir.
FLPP adalah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan atau skema subsidi dana bergulir untuk membiayai pembelian rumah masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR. FLPP telah menjadi program pemerintah sejak 2010.
FLPP bukan satu-satunya skema subsidi yang membantu bank dalam menyalurkan kredit bagi MBR. Namun, karena kurang tenarnya skema subsidi yang lain menjadikan pengembang maupun perbankan saat ini belum menunjukkan minat yang tinggi.
Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, penyaluran FLPP sejak 2010 cukup fluktuatif. Penyaluran terendah terjadi pada tahun pertama atau Rp242 miliar untuk 7.959 unit rumah.
Sementara itu, penyaluran tertinggi pada 2015 sebesar Rp6 triliun untuk 76.489 unit. Penyaluran sempat anjlok jauh pada kisaran Rp2,7 triliun untuk 23.763 unit pada 2017. Kala itu, bank penyalur tersebar PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. menyetop penyaluran FLPP. Adapun pada tahun berjalan ini, pemerintah memiliki anggaran Rp7,1 triliun untuk 68.000 unit rumah. Angka itu lebih tinggi dari penyaluran FLPP tahun lalu yang senilai Rp5,8 triliun untuk 57.939 unit rumah MBR.
Namun, belum selesai anggaran berjalan tahun ini, perbankan sudah banyak yang mengklaim kehabisan kuota FLPP. Padahal menurut para bankir permintaan masyarakat masih cukup tinggi. Pemerintah baru akan menambah anggaran subdisi FLPP pada tahun depan menjadi sebesar Rp11 triliun untuk 102.500 unit.
Baca Juga
Di sisi lain, di tengah mandeknya bisnis FLPP karena persoalan kuota, Bank Indonesia telah mengeluarkan sejumlah jamu manis guna mendorong penyaluran kredit perumahan lebih bergairah.
Sayangnya, pelaku industri memandang berbagai kebijakan, seperti pelonggaran loan to value (LTV) yang menurunkan uang muka, hingga kebijakan pemangkasan suku bunga acuan dinilai tidak ampuh dalam kondisi saat ini.
PROSPEK RUMAH SUBSIDI
Ekonom Institute for Development Economics Finance (Indef) Bhima Yudistira mengatakan saat ini rumah subsidi memiliki prospek yang bagus, bahkan di tengah perlambatan ekonomi. Wajar saja, permintaan FLPP pun naik signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Menurutnya, transisi penurunan suku bunga acuan yang relatif lamban dinilai menjadi pemicu perlambatan penyaluran KPR nonsubsidi pada tahun ini. Sementara itu, FLPP menjamin suku bunga yang tetap 7% hingga selesai masa cicilan.
"Bank masih dihadapkan pengetatan likuiditas bank. LDR bank sudah di atas 94% menjadikan bank khawatir jika terlalu cepat turunkan bunga dan deposan lari ke bank lain," katanya kepada Bisnis, Selasa (22/10/2019).
Alhasil, perbankan mulai bergairah berlomba-lomba meningkatkan kuota FLPP yang terbatas. Sementara itu, dari sisi pengembang rumah FLPP sebenarnya juga masih memiliki tensi dengan perbankan.
Menurut Bhima, saat ini suku bunga kredit konstruksi untuk rumah FLPP masih di level 12% seperti komersial. Untuk itu, seharusnya dapat disinkronkan dengan pemberian suku bunga untuk kredit konstruksi pengembang FLPP idealnya turun hingga di bawah 7%.
Alhasil, perbankan dan pengembang dapat bersinergi dalam mendorong pembangunan sejuta rumah dan menggarap pasar yang sedang ramai.
KEBIJAKAN UANG MUKA
Ketua Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas) Kartika Wirjoatmodjo secara tegas mengatakan kebijakan LTV tidak akan berpengaruh signifikan. Dia pun lebih meminta pemerintah untuk menambah kuota FLPP.
Tiko, sapaan akrabnya, menilai hal itu lantaran persoalan permintaan rumah menengah atas yang memang masih senyap. Alhasil, senjata mendorong kinerja KPR saat ini adalah dengan memenuhi permintaan pasar terbanyak di kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR.
"Dampak LTV tidak terlalu signifikan yang penting sekarang itu FLPP ditambah karena demand properti paling banyak di bawah Rp200 juta. Jika segmen tersebut ditambah FLPP maka hasilnya penyalurannya besar sekali," kata Tiko.
Dia menambahkan tiga kawasan yang akan dibanjiri penyaluran KPR segmen menengah ke bawah adalah Sumatra, Sulawesi, dan Jawa di kota-kota tier tiga.
Alhasil, dia juga menilai saat ini pengembang besar seperti Ciputra Group, Sinarmas Land mulai bergeser menggarap segmen tersebut dari yang sebelumnya fokus pada produk investasi.
Pria yang juga menjabat sebagai Direktur Utama Bank Mandiri ini pun mengakui saat ini portofolio perseroan untuk FLPP masih kecil atau sekitar 10%.
Untuk itu, Tiko juga menyarankan, perbankan ke depan sebaiknya aktif menjaring jaringan-jaringan baru baik secara fisik atau digital.
"Menggarap segmen menengah bawah ini tidak seperti memberikan kredit korporasi Rp2 triliun. Jadi memang harus memiliki jaringan yang luas. Mandiri juga sudah mulai menjalankan agen ultramikro selain investasi di fintech seperti Amarta, KoinWorks, Crowde untuk menggarap kredit kecil," ujarnya.