Bisnis.com, JAKARTA — Industri pembiayaan dikhawatirkan akan lebih selektif dalam menyalurkan pembiayaan kendaraan bermotor pasca putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan sita jaminan fidusia bahwa eksekusi agunan bisa dilakukan asal ada kesepakatan wanprestasi atau berdasarkan putusan pengadilan.
Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sarjito menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait eksekusi objek jaminan fidusia dapat membuat industri pembiayaan semakin selektif dalam menyalurkan pembiayaan.
Hal tersebut menurutnya terjadi karena industri pembiayaan akan berupaya menekan tingkat wanprestasi atau cedera janji. Jika terdapat debitur yang tidak secara sukarela menyerahkan objek fidusia, maka eksekusi objek perlu melewati proses persidangan.
"Maka perlu keseimbangan, jangan sampai putusan MK itu menyebabkan penyedia jasa keuangan terlalu selektif [dalam menyalurkan pembiyaan]. Kalau pembiayaan untuk orang yang produktif kan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi," ujar Sarjito pada Rabu (15/1/2020).
Di sisi lain, sambung Sarjito, industri pembiayaan akan mendorong pertumbuhan pembiayaan dengan memberikan berbagai kemudahan, seperti keringanan nilai uang muka. Hal tersebut justru berpotensi meningkatkan jumlah wanprestasi.
Menurutnya, terdapat perubahan tren pemanfaatan pembiayaan di kalangan masyarakat yang perlu dicermati industri. Misalnya, masyarakat di tingkat ekonomi rendah dapat menggunakan kendaraan bermotor melalui kredit secara produktif, yakni untuk menjadi pengemudi ojek online.
Baca Juga
Hal tersebut membuat industri pembiayaan pelu menyesuaikan cara penilaian terhadap debitur sebelum memberikan kredit. Penyaluran pembiayaan terhadap debitur yang produktif, selain dapat meningkatkan portofolio pembiayaan, juga dapat mendorong perekonomian masyarakat.
"Jangan sampai adanya putusan MK soal eksekusi itu membuat penyaluran pinjaman hanya kepada masyarakat yang bisa membayar DP [down payment] tinggi saja misalnya, karena menjaga wanprestasi. Orang-orang kecil yang mau menjadikan [kendaraan bermotor melalui pinjaman sebagai] alat produksi juga perlu didorong," ujar dia.
Oleh karena itu, menurut Sarjito, industri pembiayaan dinilai perlu mendorong keseimbangan antara kualitas bisnis dan pelayanan terhadap konsumen.
Dewan Pengawas Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Dennis Firmansjah menilai bahwa putusan MK tersebut tidak terlepas dari masih adanya eksekusi objek fidusia yang memerlukan putusan persidangan, meskipun menurutnya jumlahnya tidak banyak.
Dia pun berharap agar putusan MK tersebut dapat diejawantahkan menjadi mekanisme eksekusi yang lebih sederhana. Pasalnya, jika terdapat banyak eksekusi yang perlu melewati persidangan maka indutsri akan memerlukan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit.
"Saya pikir [putusan MK] ini sesuatu yang baik. Bagaimana mekanismenya bisa lebih sederhana, dan saya setuju [agar mekanisme dan putusan MK itu] jangan sampai merugikan nasabah," ujar Dennis pada Rabu (15/1/2020).
Adapun, Wakil Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menilai bahwa penyelesaian masalah eksekusi objek jaminan fidusia harus menerapkan piramida penyelesaian konsumen, yakni mengutamakan penyelesaian di tingkat produsen.
YLKI menilai bahwa putusan MK itu berpotensi membuat langkah penyelesaian eksekusi objek fidusia menumpuk di pengadilan. Padahal, penyelesaian di tingkat paling bawah seharusnya dilakukan oleh produsen, yakni perusahaan pembiayaan.
"Di tingkat paling bawah itu produsen, diselesaikan dulu dengan komunikasi, lihat itikad dari konsumen, somasi, baru eksekusi objek jaminan fidusia jika konsumen sukarela," ujar Sudaryatmo pada Rabu (15/1).
Tingkatan kedua penyelesaian menurutnya semestinya dilakukan oleh pihak ketiga seperti YLKI dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Setelah itu, jika masalah belum kunjung dapat diselesaikan baru dilimpahkan ke pengadilan, yakni tingkatan paling tinggi.
Dia menilai bahwa jika seluruh penyelesaian dilimpahkan di pengadilan akan terdapat penumpukan kasus dan berpotensi memperlambat proses eksekusi jaminan fidusia. Hal tersebut, menurut Sudaryatmo berpotensi menghambat jalannya bisnis pembiayaan.