Bisnis.com, JAKARTA -- Kasus Jiwasraya telah membuat Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) angkat bicara. Menurutnya permasalahan gagal bayar Jiwasraya berakar dari merosotnya kondisi keuangan perusahaan 3 tahun terakhir. Tidak seharusnya dibelokan menjadi permasalahan semenjak dirinya memimpin.
SBY juga mempertanyakan kenapa dengan cepat dan mudah menyalahkan Kabinet Indonesia Bersatu 2004-2009 dan 2009-2014. Padahal, SBY mengklaim krisis besar, atau jebolnya keuangan Jiwasraya itu terjadi tiga tahun terakhir.
"Karenanya, di hadapan staf dan beberapa tamu saya di rumah yang merasa tidak terima jika lagi-lagi saya yang disalahkan, saya sampaikan komentar ringan saya. Intinya, kalau memang tak satupun di negeri ini yang merasa bersalah, dan tak ada pula yang mau bertanggung jawab, ya salahkan saja masa lampau," kata SBY dalam keterangan tertulisnya dikutip Selasa (28/1/2020).
Lalu bagaimana kronologis kasus ini sehingga SBY merasa seharusnya fokus penelusuran keuangan seharusnya dalam 3 tahun terakhir? Otoritas Jasa Keuangan sebagai wasit Industri Keuangan Non Bank (IKNB) dalam kesempatan terpisah telah merilis kronologis kasus Jiwasraya.
Deputi Komisioner Humas dan Manajemen Strategis OJK Anto Prabowo menyampaikan permasalahan Jiwasraya memang telah terlihat semenjak 2004. Kala itu, Jiwasraya melaporkan ke Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) -- yang kemudian bersalin rupa menjadi bagian dari OJK -- Perusahaan melaporkan cadangan yang lebih kecil daripada seharusnya.
Insolvency atau defisit yang ditanggung Jiwasraya mencapai Rp 2,769 T. Dua tahun kemudian atau pada 2006 laporan keuangan menunjukkan nilai ekuitas Jiwasraya negatif Rp3,29 Triliiun karena asset yang dimiliki jauh lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban.
Baca Juga
Atas kondisi ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberi opini disclaimer atas laporan keuangan Jiwasraya 2006 dan 2007.
Pada 2008-2009, kondisi defisit semakin dalam yakni Rp5,7 T (2008) dan Rp6,3 T (2009). Pada 2009 ini untuk memeberikan ruang bertahan, direksi melakukan langkah penyelamatan jangka pendek dengan re-asuransi.
Selanjutnya pada 2010-2011 skema re-asuransi membuat perusahaan mencatatkan surplus sebesar Rp1,3 T akhir 2011.
Bapepam-LK meminta Jiwasraya menyampaikan alternatif penyelesaian komprehensif dan fundamental yang sifatnya jangka panjang.
Selanjutnya, 2012, Bapepam-LK yang berada di bawah Kementerian Keuangan memberikan ijin produk JS Proteksi Plan (18 Desember 2012 ). Produk ini kemudian dijual oleh Bank BTN, KEB Hana Bank, BPD Jateng, BPD Jatim, dan BPD DIY.
Model bisnis re-asuransi membuat laporan keuangan Per 31 Desember 2012 makin kuat. Jiwasraya mencatatkan surplus sebesar Rp1,6 T.
OJK mencatat, jika skema reasuransi diabaikan sejatinya Jiwasraya telah menanggung defisit Rp3,2 triliun.
Model bisnis ini sederhananya, Jiwasraya mengalihkan beban risiko klaim ke perusahaan reasuransi. Model ini jamak dijalankan oleh perusahaan asuransi untuk membagi risiko. Meski begitu perusahaan asuransi masih menanggung risiko sendiri hingga persentase tertentu.
Pada 2013, di bawah rezim OJK maka pemegang saham Jiwasraya yakni Kementerian BUMN diminta menyiapkan langkah alternatif penyelamatan. Perusahaan tercatat memiliki solvabilitas yang kurang dari 120%.
Solvabilitas merupakan rasio kemampuan perusahaan menyelesaikan seluruh kewajiban klaim jika perusahaan harus mengalami kondisi terburuk dan tutup. OJK menetapkan perusahaan harus memiliki rasio kekayaan 120 persen di atas kewajiban.
Anto menyebutkan, direksi Jiwasraya menyampaikan alternatif penyehatan berupa penilaian kembali asset tanah dan bangunan sesuai dengan standar akuntansi keuangan konvergen IFRS. Sebelum dinilai maka aset ini tercatat sebesar Rp278,2 miliar. Setelah, direvaluasi menjadi Rp6,56 T. Meski rasio aset membesar, tidak ada uang tunai masuk ke kas perusahaan.
OJK pada 2015 melakukan pemeriksaan langsung terhadap Jiwasraya dengan aspek pemeriksaan investasi dan pertanggungan. Dasarnya audit BPK di 2015 menunjukkan terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang dan laporan asset investasi keuangan yang melebihi dari realita. BPK juga menyoroti pencatatan kewajiban di bawah nilai sebenarnya.
Selama 2013-2017 ini, pendapatan premi Jiwasraya meningkat karena penjualan produk JS Saving Plan dengan periode pencairan setiap tahun terus membesar. Asuransi dwiguna satu tahun ini memberikan arus kas yang besar kepada Jiwasraya karena menawarkan imbal hasil tinggi serta masa perlindungan asuransi yang panjang.
OJK pada periode ini, kata Anto, telah meminta Jiwasraya mengevaluasi JS Saving Plan agar sesuai kemampuan pengelolaan investasi oleh perusahaan.
Pada 2017, gejala permasalahan mulai muncul di Jiwasraya. OJK kemudian memberikan sanksi peringatan pertama karena perusahaan terlambat menyampaikan laporan aktuaris 2017.
Meski begitu, OJK menerima bahwa laporan keuangan Jiwasraya 2017 masih positif. Pendapatan premi JS Saving Plan mencapai Rp21 T, laba Rp2,4 T atau naik 37,64% dari 2016. Ekuitas perseroan surplus Rp5,6 T tetapi kekurangan cadangan premi Rp7,7 T karena belum memperhitungkan penurunan asset.
Pada April 2018, OJK bersama dengan direksi membahas adanya pendapatan premi yang turun cukup signifikan akibat diturunkannya imbal hasi atas produk JS Saving Plan setelah dilakukan evaluasi atas produk tersebut.
Selanjutnya Kementerian BUMN mengganti Direksi Jiwasraya pada Mei 2018. Direksi baru melaporkan terdapat ketidakberesan laporan keuangan di perusahaan kepada Kementrian BUMN.
Hasil audit KAP atas laporan keuangan Jiwasraya 2017 antara lain mengoreksi laporan keuangan interim yang semula mencatatkan laba sebesar Rp2,4 T menjadi Rp428 miliar.
Kantor akuntan publik PWC sendiri telah mengaudit Jiwasraya sejak 2016. Pada 10 Oktober 2018 direksi baru Jiwasraya mengumumkan tidak dapat membayar klaim polis JS Saving Plan yang jatuh tempo sebesar Rp802 miliar
OJK kemudian memanggil direksi Jiwasraya pada 23 November 2018 dengan agenda pembahasan kondisi perusahaan pada triwulan III 2018 dan upaya yang telah dilakukan oleh manajemen Perusahaan.
Kemudian dalam Laporan Audit BPK 2018 diketahui Jiwasraya melakukan investasi pada asset berisiko untuk mengejar imbal hasil tinggi. Langkah ini mengabaikan prinsip kehati-hatian.
Memasuki 2019, Jiwasraya kembali terlambat menyampaikan Laporan keuangan 2018. Atas kondisi ini OJK mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pada tahun ini juga sebagai bagian dari skenario pengembalian uang nasabah yang dirancang pemegang saham, OJK mengeluarkan ijin pembentukan anak usaha JS yaitu Jiwasraya Putra.
Manajemen Jiwasraya menyebutkan membutuhkan suntikan modal Rp32,89 triliun untuk memenuhi rasio kecukupan solvabilitas atau modal berbasis risiko (RBC) 120%.
Pasalnya, aset perusahaan tercatat hanya sebesar Rp23,26 T sedangkan kewajiban sebesar Rp50,5 T. Terjadi defisit Rp27,24 T. Sedangkan kewajiban yang harus dibayar pada produk JS Saving Plan sebesar Rp15,75 T