Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menetapkan empat tahap yang harus dilalui untuk menggelontorkan likuiditas kepada perbankan dalam rangka pemulihan ekonomi nasional (PEN) akibat pandemi virus Corona (Covid-19).
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memaparkan keempat tahap operasi moneter tersebut yaitu, repurchase agreement (repo) surat berharga negara (SBN) yang dimiliki perbankan dengan total Rp563,6 triliun, penempatan dana pemerintah apabila SBN yang dimiliki bank tinggal 6 persen, repo SBN Rp330 triliun, dan pinjaman likuiditas jangka pendek (PJLP).
Dia juga menepis wacana yang beredar di masyarakat bahwa BI langsung memberikan PJLP atau PJLP syariah kepada bank yang membutuhkan likuditas.
"Tahap empat itu baru bisa dilakukan kalau tahap satu sampai tiga sudah terlewati. Dana restrukturisasi kredit dari PJLP ujug-ujug itu tidak benar, mboten leres," ujarnya saat konferensi pers virtual, Kamis (29/5/2020).
Perry mengungkapkan tahapan tersebut sudah disepakati dan tercantum dalam UU No 2/2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi UU.
Mengacu pada data BI, total SBN yang ada di perbankan saat ini mencapai Rp886 triliun. Sesuai UU BI, lanjutnya, bank sentral melakukan operasi moneter untuk pendanaan likuiditas kepada bank melalui repo melalui lelang dengan tenor 1, 3, 6, 9, dan 12 bulan. SBN sebanyak Rp563,6 triliun dapat direpo ke BI sebelum mendapat penempatan dana pemerintah.
"Posisi repo SBN perbankan saat ini baru Rp43,9 triliun," jelasnya.
Sesuai PP 23/2020, Perry mengatakan penempatan dana pemerintah baru dilakukan apabila SBN yang dimiliki bank jumlahnya 6 persen dari dana pihak ketiga (DPK). Dia menegaskan mitigasi risiko penempatan dana akan dipastikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Adapun, pendebetan rekening bank dilakukan BI jika pihak tersebut tidak mampu membayar sehingga penempatan dana pemerintah tidak terlalu besar dan tetap aman.
"Saya yakin jumlah bank yang SBN di bawah 6 persen itu tidak banyak. Sebagian besar bank peserta SBN di atas 6 persen," ucapnya.
Sesuai ketentuan penyangga likuiditas makroprudensial (PLM), jumlah SBN yang wajib dimiliki bank 6 persen dari DPK setara dengan Rp330 triliun, termasuk giro wajib minumum (GWM) 3,5 persen dari DPK. SBN ini merupakan tahap ketiga sebelum bank mengajukan PJLP/PJLPS.
Perry menegaskan PJLP/PJLPS umumnya diajukan bank kepada BI apabila SBN yang sudah direpo hampir habis. Mengacu pada UU 2/2020, PJLP/PJLPS hanya diberikan kepada bank yang solvabel dengan tingkat kesehatan yang sudah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Bank yang mengajukan PJLP-PJLPS harus mempunyai kemampuan membayar kembali dan dijamin aset kredit lancar yang telah didaftarkan ke BI," ujar Perry.
Dihubungi terpisah, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan ada perbedaan mendasar dari penyaluran likuiditas oleh saat krisis Covid-19 dengan krisis 1998 dan 2008.
Perbedaan situasi sekarang dengan penyaluran BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dan Bank Century, yaitu adanya prasyarat underlying SBN yang harus dipenuhi bank jika ingin mendapatkan dana likuditas dari pemerintah.
"Artinya, BI berbagi resiko dengan bank. Ini juga sebagai langkah BI untuk menjalankan kebijakan jumlah uang beredar di masyarakat," imbuhnya.
Pasalnya, underlying SBN sifatnya bisa diperdagangkan (tradeable) sehingga nantinya BI bisa menjual kembali SBN tersebut untuk mengatur jumlah uang beredar.
Menurutnya, hal itu tidak bisa dilakukan BI ketika mengeluarkan kebijakan saat periode krisis satu dan dua dekade silam.
Dari skema pemulihan yang diajukan BI, lanjutnya, disebutkan transaksi bank peserta dan bank pelaksana diatur dalam perjanjian kedua belah pihak. Menurutnya, BI perlu meningkatkan pengawasan. Namun, jangan sampai karena ingin menjaga kinerja bank peserta, maka pengajuan likuditas oleh bank pelakasana kemudian ditolak. Padahal bisa saja bank pelaksana merupakan bank yang membutuhkan bantuan likuditas.
"Jadi kalau sekilas memang BI telah belajar dari pengalaman BLBI dan Century. Lebih baik, jika KSSK bisa ikut mengawasi proses transaksi yang terjadi antara Bank peserta dan bank pelaksana," kata Yusuf.