Bisnis.com, JAKARTA – Kinerja emiten perbankan diperkirakan akan memburuk mulai kuartal II/2020. Namun, hal ini diperkirakan tidak serta merta membawa harga saham sejumlah bank ke zona merah.
Sejauh ini, mayoritas emiten perbankan masih mencatatkan pertumbuhan laba bersih pada kuartal I/2020. Mayoritas bank besar juga masih mencatatkan pertumbuhan positif.
PT Bank Central Asia Tbk. misalnya, masih mampu membukukan laba bersih senilai Rp6,58 triliun, naik 8,57 persen secara tahunan. Adapun, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., membukukan pertumbuhan laba bersih 4,34 persen, menjadi Rp4,25 triliun.
Dari jajaran Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) IV, hanya PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. dan PT Bank Pan Indonesia Tbk. yang mencatatkan penurunan laba bersih. Masing-masing sebesar 0,32 persen dan 13,24 persen.
Kendati menurun, BRI masih menjadi bank dengan torehan laba paling besar sepanjang kuartal I/2020. Emiten berkode saham BBRI ini membukukan laba Rp8,16 triliun.
Head of Equity Research PT Samuel Sekuritas Indonesia Suria Dharma menilai perolehan laba emiten perbankan pada kuartal I/2020 sejauh ini memang masih menujukkan performa positif.
Baca Juga
Hal ini disebabkan oleh faktor Covid-19 yang belum begitu berdampak pada periode tersebut. Pasalnya, Covid-19 baru mulai memberikan dampak pada akhir kuartal I/2020.
“Pengaruh Covid-19 baru terasa di pertengahan Maret, sehingga kuartal I/2020 rata-rata emiten perbankan belum terpengaruhi kinerjanya. Tapi kemungkinan kuartal II/2020 akan lebih jelek,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (28/5/2020).
Menurutnya, faktor yang akan menekan kinerja perbankan pada kuartal II/2020 adalah banyaknya potensi restrukturisasi kredit yang akan menunda pendapatan bunga emiten di sektor perbankan.
Di sisi lain, dampak Covid-19 diperkirakan akan turut meningkatan porsi kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL). Dia memperkirakan, kondisi ini akan terus menekan sektor finansial setidaknya hingga akhir tahun ini.
“Untuk 2020 beberapa bank saya proyeksikan akan mengalami penurunan laba bersih, karena tingginya restrukturisasi kredit. Hal ini akan membuat pendapatan bunga tertunda,” jelasnya.
Sejauh ini sektor perbankan menjadi salah satu yang mengalami koreksi harga paling besar sejak pandemi melanda. Contohnya, saham PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. yang terkoreksi 53,38 persen secara year to date.
Emiten perbankan pelat merah ini kini diperdagangkan pada valuasi yang cukup murah. Price Earnings Ratio (PER) BBNI turun ke 4,4x, sedangkan Price Book Value Ratio (PBVR) sudah turun menjadi 0,56x.
Analis J.P. Morgan Harsh Wardhan Modi dalam risetnya menyatakan bahwa valuasi emiten perbankan diperkirakan akan terus terdiskon. Valuasi mendekati nilai buku nol diperkirakan akan berlanjut, bahkan hingga tahun depan. Selain itu, J.P. Morgan memperkirakan tingkat Return on Equity (ROE) perbankan akan berada pada level rendah, setidaknya hingga 2022.
“Analisis tingkat leverage korporasi dalam satu dekade terakhir menegaskan kemungkinan tersebut,” tulisnya dikutip dari riset, Kamis (28/5/2020).
Meski begitu, menurutnya dengan dikeluarkannya aturan bank jangkar dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2020 dapat menjadi risiko bagi perbankan. Namun, dengan ketentuan bahwa aturan itu tidak bersifat memaksa menjadi poin signifikan yang mengubah prospek saham perbankan.
Dia menegaskan bahwa dengan ketentuan itu, posisi Bank-bank pelat merah yang semula dikhawatirkan akan langsung ditunjuk sebagai ‘Bank Jangkar’ kini sedikit berkurang.
Hal ini membuat J.P. Morgan merekomendasikan overweight atau beli terhadap saham trio bank BUMN jumbo: PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI), dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI).
Dia menjelaskan kondisi saat ini diperkirakan akan membuat kinerja bank-bank anjlok pasca kuartal I/2020, margin bunga bersih akan tertekan dan biaya pencadangan meningkat. Namun, hal ini dinilai tidak akan banyak memengaruhi harga saham.
J.P. Morgan menyematkan rekomendasi beli untuk BMRI dengan target harga Rp4.600. Rekomendasi beli atau overweight ini naik dari rekomendasi hold atau netral yang diberikan sebelumnya.
Dalam risetnya, Modi menjelaskan pertimbangan rekomendasi ini disebabkan oleh sejumlah faktor. Salah satunya posisi Bank Mandiri sebagai bank besar paling aktif melakukan restrukturisasi, di segmen korporasi, UKM, dan ritel.
Secara total restrukturisasi kredit oleh Bank Mandiri sudah mencapai sekitar Rp151 triliun, dan diperkirakan akan meningkat. Restrukturisasi ini diperkirakan akan menjadi pendorong profitabilitas debitur yang akan menjadi keuntungan besar bagi perseroan setelah Covid-19 berlalu.
Laba bersih tahun ini diperkirakan akan turun ke level Rp14,12 triliun dari posisi tahun lalu sebesar Rp27,48 triliun. Penurunan laba juga akan diiringi dengan penyusutan net interest margin (NIM) dan ROE menjadi 5,31 persen.
Penyusutan NIM dan ROE diperkirakan akan tetap terjadi pada 2021 dan 2022. Namun demikian, BMRI diestimasi akan mulai mampu mencatatkan kembali pertumbuhan laba bersih pada 2021 dan 2022.
“Dalam jangka pendek dampak kondisi ekonomi akan membuat penyaluran kredit Bank Mandiri melambat pada 2020—2021, namun diperkirakan akan mulai kembali kencang pada 2022,” katanya.
BBRI juga mendapatkan kenaikan rekomendasi dari overweight dari J.P. Morgan dengan target harga sebesar Rp3.000 per saham. Kinerja BBRI diperkirakan akan tetap terjaga berkat portofolionya terkonsentrasi pada kredit mikro yang memiliki ROE lebih tinggi dibandingkan segmen lain.
Selain itu, dari total portofolio kredit BBRI, 60 persennya dinilai sebagai kredit dengan risiko rendah. Kredit ini tersebar pada segmen mikro, payroll, dan korporasi BUMN.
Perkiraan laba bersih BBRI pada tahun ini adalah Rp30,93 triliun, turun sekitar Rp4 triliun dari tahun lalu. Perbaikan pertumbuhan laba bersih diperkirakan akan terjadi pada 2021—2022, disertai penurunan NIM dan peningkatan ROE.
Sementara itu, BBNI diberikan rekomendasi overweight dengan target harga Rp4.200 per saham. Harga saham saat ini dinilai cukup sepadan dengan ketidakpastian potensi penurunan kualitas aset perseroan.
Pertumbuhan kredit BBNI diperkirakan akan turun menjadi hanya 6 persen pada tahun ini. Adapun, pemulihan laju pertumbuhan kredit diproyeksikan terjadi pada 2021—2022 dengan kembali ke kisara 10 persen.
Laba bersih perseroan diperkirakan akan turun ke Rp9,36 triliun dan bertahan pada kisaran tersebut hingga 2021. Pertumbuhan diperkirakan akan terakumulasi pada 2022, dengan proyeksi laba bersih menyentuh Rp16,55 triliun.