Bisnis.com, JAKARTA — Terguncangnya kondisi perekonomian sebagai dampak dari penyebaran virus corona menimbulkan pertanyaan dari para pelaku usaha, apakah asuransinya turut memproteksi risiko gangguan bisnis akibat pandemi?
Direktur Kebijakan Layanan Keuangan American Action Forum Thomas Wade menjelaskan, perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat telah memiliki asuransi yang mencakup risiko gangguan bisnis. Meskipun begitu, polis tersebut biasanya tidak menanggung kerugian akibat pandemi.
Dilansir dari artikelnya di situs resmi American Action Forum, Wade menjelaskan bahwa banyak pelaku usaha yang menuntut perusahaan asuransi untuk membayarkan klaim gangguan bisnis. Hal itu pun menjadi pembahasan bukan hanya di kalangan perusahaan asuransi dan nasabahnya, tetapi sampai masuk ke ruang oval Gedung Putih.
Di negeri Paman Sam, risiko gangguan bisnis biasanya tidak dijual sebagai polis asuransi yang berdiri sendiri, melainkan berupa manfaat tambahan dari polis asuransi properti dan kecelakaan. Menurut Wade, hal tersebut membuat risiko gangguan bisnis kerap didefinisikan sebagai kerugian fisik yang diakibatkan oleh peristiwa fisik.
"Definisi ini akan akan mengecualikan kerugian finansial sebagai akibat dari pandemi virus corona, yang tidak menyebabkan kerugian fisik. Namun, sebagian polis telah berkembang dengan memasukkan klausa cakupan risiko akibat penyakit yang merebak seperti pandemi, pelajaran yang dipetik dari epidemi SARS," tulis Wade seperti dikutip Bisnis, Rabu (10/6/2020).
Menurutnya, salah satu kasus yang menjadi pembelajaran industri asuransi adalah adanya pembayaran klaim gangguan bisnis senilai US$16 juta ke jaringan hotel Mandarin Oriental International sebagai akibat dari epidemi SARS pada 2002–2003. Kala itu, gangguan non fisik seperti wabah menjadi diperhitungkan sebagai risiko yang bisa ditanggung asuransi.
Baca Juga
Wade menjelaskan bahwa jika dilihat secara fundamental, industri asuransi tidak dirancang untuk mengatasi masalah dalam skala besar seperti pandemi Covid-19. Luasnya dampak pandemi tersebut membuat asuransi tidak memungkinkan untuk membayar klaim ke seluruh negara dalam satu waktu, sehingga terdapat pengecualian.
"Jika epidemi atau pandei menjadi lebih umum, cakupan proteksinya mungkin akan bertambah dan preminya bisa menurun. Pada titik ini, pengecualian klausa bagi pandemi tidak diperlukan," tulisnya.
Dia pun menilai bahwa jika asuransi harus membayar seluruh klaim ganguan bisnis akibat pandemi Covid-19, bisa-bisa industri tersebut menjadi bangkrut. Dalam tulisannya, Wade menjelaskan American Property Casualty Insurance Association memperkirakan terdapat 30 juta klaim yang akan diajukan usaha kecil dan menengah di sana.
Jika seluruh klaim itu diajukan, akan terdapat US$220miliar–US$383 miliar klaim yang harus dibayarkan setiap bulannya di Amerika Serikat. Jumlah itu mencapai sepuluh kali lipat dari total klaim yang dibayarkan industri asuransi kerugian di Amerika Serikat dalam satu tahun.
"Membebani industri asuransi dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil seperti saat ini tentu akan merusak stabilitas industri dan mungkin menimbulkan efek domino terhadap resesi, baik keamanan kesehatan keuangan dan memperpanjang waktu pemulihan ekonomi yang diperlukan," tulis Wade.
Menurutnya, penentuan cakupan risiko tersebut memerlukan peran pemerintah dan regulator, tidak cukup menjadi keputusan perusahaan atau industri asuransi saja. Penyertaan atau pengecualian risiko pandemi dinilai bisa memulihkan kondisi keuangan, tetapi berpotensi membebani industri asuransi.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Dosen Program MM-Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Kepler A. Marpaung menjelaskan bahwa belum ketegasan cakupan risiko pandemi Covid-19 di industri asuransi kerugian, khususnya dalam polis gangguan bisnis.
Dia menjelaskan bahwa polis gangguan bisnis akan memberikan ganti rugi terhadap kehilangan profit karena adanya sejumlah kendala. Namun, kendala yang disyaratkan pada umumnya sama seperti yang terjadi di Amerika Serikat, yakni gangguan fisik seperti kebakaran dan peledakan.
"Polis gangguan bisnis di luar negeri ada yang memasukan proteksi risiko pandemi, ada yang tidak. Kalau di Indonesia ini masih tidak jelas, menjadi grey area," ujar Kepler kepada Bisnis, Rabu (10/6/2020).
Dia menilai bahwa dalam kondisi tersebut, para pelaku asuransi dalam negeri, khususnya asuransi kerugian perlu melakukan kajian terkait ketercakupan risiko pandemi Covid-19. Hal itu perlu dilakukan agar posisi penanggung maupun tertanggung bisa menjadi lebih jelas.