Bisnis.com, JAKARTA — Tekanan perekonomian global akibat pandemi Covid-19 dinilai akan memukul bisnis retrosesi saat ini.
Dalam kondisi tersebut, upaya menahan premi di dalam negeri dengan memanfaatkan retrosesi lokal dinilai dapat menjadi salah satu strategi menjaga kinerja.
Direktur Pengembangan, Manajemen Risiko, dan Kepatuhan PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re Eka Sjarief menjelaskan bahwa sebagian besar perusahaan penerima retrosesi (retrocessionaire) berada di luar negeri, yakni di Eropa dan sebagian di Asia.
Menurut Eka, penyebaran virus Corona yang terus terjadi membuat aktivitas retrosesi turut terdampak karena banyaknya gangguan bisnis dari asuransi dan reasuransi. Sejumlah retrocessionaire besar bahkan sudah memperkirakan akan terdapat kerugian bisnis pada tahun ini.
Dia mencontohkan perusahaan raksasa SwissRe dan MunichRe telah memproyeksikan akan adanya lonjakan klaim retrosesi yang berasal dari polis event cancellation dan business interruption. Bahkan, Lloyd's of London memperkirakan akan terdapat kerugian berkisar US$725 juta–US$1 miliar dari klaim properti pada enam bulan terakhir.
"Dampak terbesar justru berasal pada penurunan capital market akibat adanya global economic slowdown. Prediksi sementara, tantangan bagi industri reasuransi [yang mencakup penerimaan retrosesi] pada beberapa tahun ke depan adalah kondisi hard market, yang akan berdampak pada harga retrosesi dan kapasitas treaty proporsional," ujar Eka kepada Bisnis, Jumat (31/7/2020).
Baca Juga
International Risk Management and Insurance Society (IRMI) mendefinisikan hard market sebagai kondisi perubahan siklus pasar, di mana terdapat penurunan kapasitas asuransi yang tidak mengimbangi kenaikan premi. Adapun, treaty merupakan perjanjian pemberian sesi secara otomati sesuai kontrak antara asuradir dan reasuradur.
Menurut Eka, perusahaan-perusahaan reasuransi berskala internasional akan melakukan sejumlah upaya untuk memitigasi risiko dari kondisi yang menantang tersebut. Salah satu langkah yang dilakukan industri sejak saat ini adalah stress test terhadap berbagai kemungkinan.
Upaya antisipasi tersebut akan dilakukan secara global dan simultan oleh perusahaan-perusahaan reasuransi, termasuk Indonesia Re yang telah menyusun Covid-19 Playbook sebagai panduan bisnis. Meskipun begitu, menurut Eka, terdapat langkah lain yang dapat menjaga kinerja industri yakni dengan menahan premi di dalam negeri.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan retrosesi di perusahaan-perusahaan dalam negeri, alih-alih ke luar negeri. Terdapat sejumlah pertimbangan dari penempatan retrosesi tersebut, seperti harga sesi, manfaat sesi yang diterima, hingga kondisi perekonomian tempat perusahaan penerima retrosesi berada, khususnya dalam masa pandemi Covid-19.
"Indonesia Re sendiri, dalam upaya untuk menahan premi lebih banyak di dalam negeri, premi retrosesi pada kuartal I/2020 hanya mencapai 78 persen dibandingkan dengan kuartal I/2019 atau turun 22 persen," ujar Eka.
Saat ini belum terdapat data spesifik yang menunjukkan besaran retrosesi ke dalam dan luar negeri. Terdapat data neraca pembayaran jasa asuransi dan dana pensiun dari Bank Indonesia yang menunjukkan defisit US$217 juta pada kuartal I/2020, tetapi menurut Eka hal tersebut tidak bisa menjadi acuan karena tercampur dengan data industri dana pensiun.
Adapun, berdasarkan catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), premi retrosesi yang dibayarkan industri reasuransi hingga Mei 2020 mencapai Rp5,06 triliun. Jumlahnya meningkat hingga 44,43 persen (year-on-year/yoy) dari posisi Mei 2019 senilai Rp3,5 triliun.
Klaim retrosesi yang diterima industri reasuransi melonjak lebih besar dibandingkan premi yang dibayarkannya. Per Mei 2020, klaim retrosesi tercatat mencapai Rp2,01 triliun atau melejit 197,01 persen (yoy) dari Mei 2019 senilai Rp677,3 miliar.