Bisnis.com, JAKARTA - Program restrukturisasi di platform teknologi finansial peer-to-peer lending (Fintech P2P Lending) ternyata memiliki metode berbeda dengan perbankan atau multifinance.
Ketua Bidang Humas dan Kelembagaan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Tumbur Pardede menjelaskan ini karena fintech lending pada dasarnya memang hanya platform yang mempertemukan pendana (lender) dan peminjam dana (borrower).
Oleh sebab itu, apabila borrower memang benar-benar kesulitan membayar cicilan akibat terdampak pandemi Covid-19, keringanan hanya bisa didapat dari persetujuan para lender.
"Kami sebagai penyelenggara fintech P2P lending mampu menjembatani kebutuhan mereka, para peminjam, yang mengajukan keringanan atau restrukturisasi pinjaman, dengan pihak pemberi pinjaman," ujar Tumbur kepada Bisnis, Minggu (6/9/2020).
Namun, yang mengejutkan, kebanyakan lender ternyata bukan hanya memikirkan keuntungan semata, mereka justru bisa memahami situasi yang ada, kemudian memberikan persetujuan keringanan kredit.
"Terbukti para pemberi pinjaman ternyata memahami kesulitan para peminjamnya, dan menyetujui atas permohonan pengajuan restrukturisasi tersebut tanpa adanya tambahan biaya atau pengenaan bunga tambahan apapun," tambah Tumbur.
Baca Juga
Data terbaru AFPI menunjukkan realisasi restrukturisasi yang telah disetujui para lender nyatanya telah mencapai total outstanding pinjaman Rp300 miliar.
Ketua Harian AFPI Kuseryansyah menjelaskan bahwa skema keringanan yang diberikan biasanya berupa perpanjangan masa jatuh tempo, atau keringanan denda keterlambatan cicilan.
"Restrukturisasi itu kita [platform fintech lending] bukan decision maker. Skema itu ada pada lender. Jadi kita menampung aspirasi atau keinginan borrower, kemudian kita mintakan persetujuan ke borrower dengan menawarkan berbagai skema yang memungkinkan untuk disetujui," jelasnya.