Bisnis.com, JAKARTA - Kebanyakan lembaga pembiayaan mikro memilih mengubah waktu angsuran sebagai bentuk restrukturisasi kredit terhadap pinjaman nasabah.
Hal ini terungkap dalam hasil survei Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E LIPI) bertajuk 'Dampak Covid-19 terhadap Lembaga Pembiayaan Mikro' yang diungkap Selasa (13/10/2020).
Sebanyak 94,4 persen dari empat lini pembiayaan mikro lebih memilih perubahan waktu angsuran daripada penangguhan pelunasan kredit (40,4 persen), penghapusan dan atau pengurangan penalti (36,1 persen), penurunan suku bunga (28,8 persen) serta pengurangan tunggakan bunga (23,5 persen).
Empat lini pembiayaan mikro ini, yaitu Bank Perkreditan Rakyat (BPR/BPRS), rumpun koperasi seperti koperasi simpan pinjam/Baitul Maal wa Tamwil/LKM/LKM, dan dua perusahaan pelat merah PT Pegadaian (Persero) dan PT Permodalan Nasional Madani (Persero).
Tuti Ermawati, Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI menerangkan persentase ini merupakan breakdown 92,4 persen lembaga keuangan mikro yang mengaku menerima restrukturisasi nasabahnya yang terdampak Covid-19.
"PNM paling banyak menerapkan perubahan waktu angsuran. Pegadaian sama, tapi juga memilih perubahan waktu dan penangguhan kredit. Adapun pengurangan tunggakan bunga lebih banyak digelar rumpun koperasi, sementara penurunan suku bunga oleh BPR/BPRS," jelasnya.
Baca Juga
Oleh sebab itu, Tuti menjelaskan dengan 'pengorbanan' yang telah dilakukan para lembaga pembiayaan penampung nasabah usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) ini, beragam insentif dan stimulus likuiditas pun perlu digelar sebagai penyeimbang.
"Utamanya untuk rumpun koperasi yang perhatiannya masih minim, urgensi pemberian likuiditas support dan peningkatan peran mereka dalam penyaluran program pemulihan ekonomi nasional diperlukan," tambahnya.
Pasalnya, hasil survei membuktikan bahwa 72,8 persen responden lembaga pembiayaan mikro menyebut insentif bantuan likuiditas menjadi yang paling dibutuhkan, disusul insentif pajak sebesar 48 persen, pendampingan nasabah peminjam sebesar 46 persen, dan lainnya 6,52 persen.
"Lainnya ini termasuk bantuan perlindungan kesehatan, suku bunga, pembebasan denda, subsidi gaji untuk sumber daya manusia, dan stimulus perekonomian lain," tambahnya.
Masih dari hasil survei, sebanyak 81,1 persen rumpun koperasi dan 71,1 persen rumpun BPR menyatakan bantuan likuiditas merupakan keniscayaan. Pasalnya, rumpun koperasi yang mengaku masih 'sangat sulit' memenuhi persyaratan mendapatkan bantuan likuiditas mencapai 37,8 persen dan 'sulit' sebesar 47,3 persen.
Persentase 'sangat sulit' mendapatkan bantuan likuiditas dari rumpun lain di antaranya BPR (14,8 persen) dengan dominasi 'sulit' 46,3 persen, PNM (4,2 persen) didominasi 'sulit' 50 persen, dan Pegadaian hanya 9,6 persen karena sudah tampak lebih didominasi 'mudah' sebanyak 50,4 persen.
"Dari survei, lembaga pembiayaan mikro yang mendapatkan bantuan likuiditas hanya 63,9 persen. PNM dan Pegadaian sudah lebih dari 40 persen yang mendapatkan, namun koperasi hanya 16,2 persen dan BPR hanya 22,2 persen. Masih sedikit," tambah Tuti.
Sumber bantuan likuiditas yang diterima kebanyakan berasal dari lembaga negara (45 persen), disusul pemerintah daerah (14 persen), sementara lainnya seperti perbankan, lembaga sendiri, BUMN, asosiasi koperasi, APEX BPR, dana nasabah, atau dana swasta porsinya hanya 9 persen.
Turut hadir Joko Suyanto Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) yang menekankan bahwa program restrukturisasi akan terus digelar.
Pasalnya, ini merupakan jalan tengah untuk menjembatani kebutuhan nasabah, dan bagi BPR/BPRS sendiri untuk menjaga catatan kinerja nonperforming loan (NPL) atau kredit bermasalah.
Ketua DPP Asosiasi Koperasi Simpan Pinjam Indonesia (Askopindo) Frans Meroga Panggabean menekankan bahwa pandemi Covid-19 harus menjadi momentum agar koperasi ikut dipercaya menjadi tulang punggung pemulihan UMKM.