Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah dana pensiun yang didirikan oleh perusahaan badan usaha milik negara atau BUMN mencatatkan rasio kekayaan di bawah 100 persen atau unfunded. Kondisi tersebut salah satunya dinilai disebabkan oleh pertumbuhan gaji pegawai yang belum sejalan dengan alokasi dana pensiunnya.
Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Budi Frensidy menjelaskan bahwa saat ini dana pensiun (dapen) yang didirikan oleh perusahaan BUMN memiliki total aset hingga Rp149 triliun. Jumlah tersebut mencakup sekitar 52 persen dari total aset dana pensiun senilai Rp289 triliun, yang menurut Budi menunjukkan besarnya kontribusi dapen BUMN.
Meskipun begitu, sekitar 67 persen Dana Pensiun Pemberi Kerja Manfaat Pasti (DPPK-MP) BUMN memiliki rasio kecukupan dana (RKD) di bawah 100 persen. Adapun, sekitar 68 persen dari total aset dana pensiun BUMN atau Rp101 triliun berada di DPPK-MP, mendominasi penyelenggaraan program pensiun BUMN.
Menurut Budi, rasio kecukupan dana DPPK-MP di bawah 100 persen itu disebabkan oleh pertumbuhan gaji yang lebih besar dari asumsi awal, serta imbal hasil (return) yang lebih rendah dari target bujet. Hal tersebut membuat kondisi keuangan belum cukup tangguh untuk memenuhi liabilitas di masa mendatang.
“Dapen yang tadinya fully funded bisa berubah dalam satu tahun atau beberapa waktu ke depan menjadi unfunded. Untuk mengatasi RKD di bawah 100 persen tersebut, perlu ada injeksi atau setoran tambahan agar kekurangan tersebut bisa tertutupi,” ujar Budi dalam keterangan resmi, Jumat (16/10/2020).
RKD sebagai salah satu ukuran kesehatan DPPK-MP merupakan rasio kekayaan yang dibagi dengan kewajiban dapen. Tingkat RKD yang berada di angka 100 persen atau lebih tercatat sebagai keadaan dana yang terpenuhi (fully funded), sebaliknya, jika RKD berada di bawah 100 persen maka pendanaan dapen berada dalam keadaan tidak terpenuhi (unfunded).
Baca Juga
Menurut Budi, selisih kurang antara kekayaan dan kewajiban atau defisit DPPK-MP BUMN cenderung membesar. Selain itu, penambahan jumlah DPPK-MP BUMN yang masuk dalam kategori unfunded pun menurutnya terus bertambah.
Dia menilai bahwa investasi dapen BUMN harus bisa lebih likuid, selain harus adanya upaya penyesuaian rasio pendanaan. Menurutnya, dapen BUMN dapat fokus ke sejumlah instrumen investasi berisiko kecil, seperti Surat Berharga Negara (SBN), fixed income, Surat Utang Negara (SUN), Obligasi Republik Indonesia (ORI), dan obligasi korporasi berperingkat AAA.
Budi memperkirakan bahwa lebih dari 80 persen DPPK BUMN memiliki portofolio investasi dalam bentuk penyertaan langsung berupa tanah atau bangunan. Padahal, menurutnya, investasi tersebut tergolong kurang likuid sehingga cenderung kurang optimal dan dapat berdampak terhadap likuiditas dana pensiun.
"Belum lagi, masalah pengawasan yang belum optimal dan tata kelola yang kurang prudent. Oleh sebab itu, dibutuhkan semacam arahan investasi untuk DPPK-MP BUMN agar penempatan investasi dapen lebih aman dan pengawasan lebih optimal," ujar Budi.