Bisnis.com, JAKARTA — PT Asuransi Bintang Tbk. menilai bahwa kekuatan pencadangan menjadi kunci bagi perusahaan asuransi untuk bertahan di tengah pandemi virus corona, meskipun tidak memiliki pendapatan. Hal tersebut penting karena kinerja industri dinilai masih akan terkontraksi.
Presiden Direktur Asuransi Bintang Hastanto Sri Margi (HSM) Widodo menjelaskan bahwa dalam kondisi saat ini, perusahaan asuransi harus mampu menjaga likuiditas dan solvabilitas. Perusahaan jangan sampai terjebak dengan perang harga untuk mempertahankan kinerja.
"Karena model bisnis yang ada dengan aturan pencadangan premi yang belum merupakan pendapatan, perusahaan asuransi dapat dengan aman bertahan, even dengan zero sales," ujar Widodo kepada Bisnis, Senin (2/11/2020).
Baca Juga : Kinerja Asuransi Mikro Melemah di Ambang Resesi |
---|
Dia menilai bahwa ketidakcukupan cadangan karena premi yang terlalu rendah lebih membahayakan perusahaan asuransi daripada penurunan penjualan. Oleh karena itu, di masa pandemi, perusahaan asuransi harus fokus memperkuat pencadangannya.
Pada Juni 2020, perusahaan dengan kode emiten ASBI tersebut mencatatkan rasio pencapaian solvabilitas atau risk based capital (RBC) 134,56 persen, berada di atas syarat minimal dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yakni 120 persen. Perseroan tercatat belum mempublikasikan laporan keuangan triwulan III/2020.
Hingga Juni 2020 atau tiga bulan setelah pandemi merebak di Indonesia, ASBI membukukan premi Rp233,7 miliar. Jumlah tersebut tumbuh 18,94 persen (year-on-year/yoy) dari catatan Juni 2019 senilai Rp196,48 miliar.
Pada pertengahan tahun ini, klaim yang dibayarkan perseroan senilai Rp99,47 miliar turun 3,63 persen (yoy) dari posisi Juni 2019 senilai Rp104,53 miliar. Adapun, pada Juni 2020, hasil investasi senilai Rp5 miliar terkoreksi 20,63 persen (yoy) dari posisi Juni 2019 senilai Rp6,3 miliar.
Pada Juni 2020, ASBI pun membukukan laba Rp4,03 miliar atau turun hingga 30,21 persen (yoy) dari catatan Juni 2019 senilai Rp5,78 miliar. Meskipun begitu, pada Juni 2020 catatan aset perseroan senilai Rp888,62 miliar tumbuh 3,63 persen (year-to-date/ytd) dari posisi Desember 2019 senilai Rp857,52 miliar.
Widodo yang juga Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menilai bahwa industri asuransi umum masih akan mengalami kontraksi karena Purchasing Managers Index (PMI) turun menjadi 47,2. Padahal, Agustus 2020 lalu terdapat sedikit ekspansi ke angka 50,8.
Kondisi tersebut membuat perusahaan-perusahaan asuransi, termasuk ASBI, harus tangkas dan adaptif dalam merespon berbagai perubahan kondisi selama pandemi.
Sebelumnya, AAUI memproyeksikan kinerja asuransi umum akan terkontraksi 15 persen–25 persen pada akhir 2020, bahkan dalam kondisi terburuk bisa merosot hingga 30 persen. Namun, perbaikan kondisi bisnis pada kuartal III/2020 membuat asosiasi berharap kontraksi tidak mencapai 20 persen.
Adanya pandemi Covid-19 membuat proyeksi bisnis 2020 dari AAUI merosot tajam karena kondisi ekonomi makro pun anjlok. Pada akhir 2019 lalu, asosiasi meyakini bahwa industri asuransi umum dapat mencatatkan pertumbuhan premi hingga 17 persen tahun ini.