Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Regulasi Baru Fintech P2P Lending Bakal Picu Tren Merger dan Akuisisi

Penyelenggara P2P lending pernah mencapai 164 perusahaan terdaftar dan berizin, tapi sekarang tinggal 154 perusahaan.
Ilustrasi teknologi finansial/Flickr
Ilustrasi teknologi finansial/Flickr

Bisnis.com, JAKARTA - Regulasi baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait industri teknologi finansial peer-to-peer lending (fintech P2P lending) bakal berdampak pada penurunan jumlah penyelenggara.

Deputi Direktur Pengaturan, Penelitian dan Pengembangan Fintech OJK Munawar Kasan mengakui tentunya pasti ada saja sebagian perusahaan yang sulit memenuhi tuntutan persyaratan penyelenggara usaha yang lebih ketat.

Munawar menjelaskan penyelenggara P2P lending pernah mencapai 164 perusahaan terdaftar dan berizin, tapi sekarang tinggal 154 perusahaan. Ada yang modalnya habis, ada yang tidak sanggup memenuhi kriteria perusahaan yang sehat, ada pula yang tidak kuat bersaing.

"Dengan beberapa persyaratan penyelenggaraan usaha yang baru, pasti ada lagi satu-dua yang tidak bisa memenuhi dan butuh konsolidasi. Makanya di regulasi baru ini kami akomodasi juga untuk mekanismenya," jelasnya dalam diskusi virtual bersama Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Rabu (25/11/2020).

Terlebih, Munawar juga mengungkap bahwa struktur industri ini masih terbilang timpang, karena dari total 154 penyelenggara usaha P2P lending, 80 persen pangsa outstanding masih hanya dikontribusikan oleh 21 penyelenggara.

Artinya, 133 platform lain hanya berkontribusi di pangsa outstanding 20 persen. Adapun, 10 penyelenggara fintech P2P lending teratas ternyata berkontribusi hingga 61,68 persen dari pangsa outstanding keseluruhan.

"Jadi, harapannya regulasi ini memperkuat tata kelola tiap perusahaan. Kalau platform cuma banyak saja tapi kualitasnya tidak berkembang, ujung-ujungnya konsumen juga yang kena dampaknya. Apalagi industri ini punya prospek bagus dan sedang terus bertumbuh," jelasnya.

Berdasarkan catatan OJK, penyaluran pinjaman industri fintech lending per Oktober 2020 mencapai Rp8,95 triliun. Naik dari capaian September 2020 di angka Rp6,82 triliun, dan tumbuh 17,98 persen (year-on-year/yoy) dari Rp7,59 triliun per Oktober 2019.

Adapun, outstanding industri fintech lending per Oktober 2020 mencapai Rp13,24 triliun. Naik dari capaian September 2020 di angka Rp12,71 triliun, dan tumbuh 18,39 persen (yoy) dari Rp11,18 triliun di periode sebelumnya.

Ketua Umum AFPI sekaligus Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi menekankan bahwa tren merger dan akuisisi tentu terjadi secara alamiah di semua industri, tak terkecuali buat industri fintech P2P lending.

AFPI mengapresiasi banyak hal yang OJK akomodasi dalam regulasi baru tersebut, salah satunya terkait merger dan akuisisi. Asosiasi pun telah mengirimkan pendapat dan masukan secara resmi terkait regulasi baru tersebut kepada OJK.

"Ekspektasi kami memang ada tren seperti itu karena bisa dipahami, yang namanya startup itu pasti ada masa berhasil atau tidak dan di satu titik perlu menentukan sikap apakah harus terus jalan atau bergabung untuk menjadi lebih kuat," jelasnya.

Adrian pun optimistis bahwa industri ini masih sangat diincar investor. Fintech P2P lending dengan pangsa pasar kecil namun telah legal, dinilainya tak akan kesulitan mencari investor atau partner strategis untuk memperkuat bisnisnya.

Syaratnya, platform tersebut punya skema bisnis dan tim manajemen yang menjanjikan, serta pengelolaan arus kas yang bisa meyakinkan investor bahwa bisnisnya sebagai startup tak sekadar bakar uang.

"Ada platform yang berbasis pinjaman konsumtif, ingin bergabung dengan yang fokus ke produktif untuk saling melengkapi. Kami juga banyak diincar oleh bank dan multifinance untuk menjadi partner mereka, demi efisiensi daripada membangun teknologi dari awal. Tinggal bagaimana suatu platform tersebut bisa meyakinkan mereka," ungkapnya.

Sekadar informasi, terdapat beberapa aturan baru terkait fintech lending dalam beleid Rencana Peraturan OJK tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi tersebut.

Misalnya penyelenggara fintech lending wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp15 miliar pada saat perizinan, nilai itu meningkat dibandingkan ketentuan sebelumnya sebesar Rp2,5 miliar.

Selain itu, terdapat batas maksimum total pemberian pinjaman dana sebesar Rp2 miliar tetap, tetapi terdapat aturan tambahan.

Yaitu, batasan pemberian pendanaan oleh setiap Pemberi Dana dan afiliasinya paling banyak sebesar 25 persen dari total pendanaan yang belum dilunasi (outstanding) tahunan pada saat melakukan pendanaan.

Serta, batasan pemberian pendanaan oleh pemegang saham dan afiliasinya paling banyak sebesar 25 persen dari total pendanaan yang belum dilunasi (outstanding) tahunan pada saat melakukan pendanaan.

Beleid RPOJK ini juga menambahkan aturan yang sebelumnya belum ada, yaitu pada Pasal 38 (2) mewajibkan penyelenggara memberikan pendanaan kepada sektor produktif paling sedikit 40 persen dari outstanding pembiayaan secara bertahap dengan batas maksimal tiga tahun mendatang.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper