Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengamat Nilai Klaim Asuransi bisa Dikenakan PPh. Ini Alasannya

Dalam omnibus law Cipta Kerja, pengecualian objek pajak berubah menjadi pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit, atau karena meninggalnya orang yang tertanggung, serta pembayaran asuransi beasiswa.
Karyawan beraktifitas di dekat deretan logo-logo perusahaan asuransi di Kantor Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) di Jakarta, Selasa (22/9/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha
Karyawan beraktifitas di dekat deretan logo-logo perusahaan asuransi di Kantor Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) di Jakarta, Selasa (22/9/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha
Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan pengenaan pajak penghasilan atau PPh terhadap klaim asuransi selain karena sakit, kecelakaan, dan kematian dinilai sejalan dengan prinsip kesetaraan antar instrumen keuangan. Namun, kebijakan baru itu memerlukan penjelasan lebih rinci dari pemerintah.
 
Omnibus law Undang-Undang (UU) 11/2020 tentang Cipta Kerja mengatur klaim karena sakit, kecelakaan, dan kematian sebagai objek pengecualian pajak. Beleid itu mengubah ketentuan UU 36/2008 tentang PPh, yakni di Pasal 4 ayat (3) poin e.
 
Dalam ketentuan lama tertulis bahwa pembayaran klaim dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa termasuk ke dalam pengecualian dari objek pajak.
 
Dalam omnibus law Cipta Kerja, pengecualian objek pajak berubah menjadi pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit, atau karena meninggalnya orang yang tertanggung, serta pembayaran asuransi beasiswa. Dari sisi redaksional, terjadi perubahan dari semula mengacu ke jenis asuransi menjadi mengacu ke penyebab klaim.  
 
Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai bahwa kebijakan pengenaan PPh terhadap klaim asuransi memiliki intensi untuk membatasi tambahan kemampuan ekonomis yang berasal dari produk-produk asuransi, seiring adanya perubahan klausul pengecualian objek PPh.
 
Menurutnya, kebijakan itu sejalan dengan perkembangan produk asuransi yang bukan hanya memiliki muatan proteksi bagi tertanggung. Beberapa produk asuransi berkembang menjadi bauran antara instrumen pelindung risiko dengan instrumen investasi dan tabungan.
 
Perkembangan itu membuat manfaat yang dapat diperoleh tertanggung bukan hanya perlindungan dari risiko seperti sakit, kecelakaan, dan kematian, tapi juga manfaat yang tidak lagi bergantung kepada risiko-risiko tersebut.
 
"Artinya ditinjau dari aspek sumber aliran penghasilan, ini telah mejadi suatu aliran penghasilan yang berasal dari sistem modal. Dalam sistem PPh di Indonesia, penghasilan dari modal lainnya tetap dikenakan pajak," ujar Bawono kepada Bisnis, Senin (11/1/2021).
 
Menurutnya, instrumen-instrumen seperti deposito, surat berharga, dan sebagainya tetap dikenakan pajak karena memberikan imbal hasil. Maka dari itu, terdapat potensi ketidaksetaraan perlakuan jika produk asuransi yang substansinya tidak murni proteksi dikecualikan dari PPh.
 
Dia menilai bahwa ketidaksetaraan itu dapat mendistorsi perilaku usaha. Namun, ketentuan dan dampaknya itu perlu dilihat setelah terdapat regulasi yang lebih detil dan penjelasan dari pemerintah terhadap aturan pengecualian dari objek PPh itu.
 
"Penjelasan lebih lanjut mengenai konteks dan interpretasi hal tersebut perlu menunggu dari otoritas," ujar Bawono.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper