Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia memasuki era di mana penilaian aplikasi kredit/pembiayaan oleh lembaga jasa keuangan, mulai mengarah kepada behavior calon debitur, tak lagi sekadar track record kredit masa lalunya.
Aviliani, Pengamat Kebijakan Publik & Peneliti Senior Institute For Development of Economics and Finance (Indef) menjelaskan bahwa fenomena ini sebenarnya sudah bisa dibantu lewat keberadaan platform fintech Innovative Credit Scoring (ICS).
Alasannya, karena credit scoring konvensional terkini masih mengandalkan riwayat kredit, atau buat pelaku UMKM, paling banter hanya mengintip laporan keuangan mereka. Sehingga, belum mampu menggambarkan behavior dan perilaku calon debitur, serta melihat potensinya secara prediktif ke depan.
"Contoh kecil saja yang buat individu misalnya KPR, bisa mengambil kalau punya surat keterangan pegawai, bergaji tetap, dan sebagainya. Padahal, kalau kita lihat dari sisi perorangan, 138 juta angkatan kerja kerja itu hanya 30 persen yang berada di sektor formal, 70 persen informal. Begitu pula keadaannya buat kredit modal kerja UMKM," ujarnya dalam diskusi virtual, Rabu (17/3/2021).
Terlebih, Indonesia belum memiliki basis data yang terpusat untuk bisa mengakomodasi penilaian prediktif semacam itu. Jangankan menganalisis, meminimalkan fraud data kependudukan terpadu atau mencari data keluarga miskin dalam hal bantuan sosial pun masih tertatih-tatih.
Oleh sebab itu, Aviliani menyarankan selain memutakhirkan data Dukcapil, pemerintah bisa mulai merapikan lagi kompilasi data pembayaran air, telepon, listrik, bahkan transportasi publik, dan tentunya pajak dari masyarakat agar semakin terintegrasi.
Baca Juga
Harapannya, pemerintah juga memiliki analisis kondisi perseorangan yang baik bagi penduduknya. Alangkah baiknya lagi, memungkinkan data tersebut untuk dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif credit scoring para lembaga keuangan atau platform fintech.
"Maka kalau awareness sudah terbangun, tentunya orang-orang akan mulai berperilaku baik. Karena tahu, pengeluaran-pengeluaran rutin buat fasilitas publik yang dia pakai itu akan tercatat otomatis, dan akan berpengaruh kepada aksesnya memperoleh pembiayaan," tambahnya.
Adapun, buat pelaku usaha, Aviliani menyarankan segeralah menggunakan transaksi digital, pembayaran digital, atau menggunakan layanan digital sesering mungkin. Tujuannya, agar rekam jejak lebih terpercaya ketika dicatat melalui credit scoring inovatif.
Contoh, seorang pedagang yang 'kulakan' tiap bulan dengan transaksi digital, akan lebih terekam oleh para platform credit scoring, lebih mudah dinilai potensial, atau minimal mencerminkan usahanya baik-baik saja. Jauh berbeda ketimbang pedagang yang masih menggunakan cash dalam bertransaksi.
Harapannya, pendekatan aktivitas dan behavior sebagai credit scoring semacam ini merangsang lembaga jasa keuangan (LJK) lebih mampu menjangkau para pekerja informal dan UMKM, serta menurunkan beban bunga mereka, karena penilaian risikonya lebih terkendali sejak awal.
"Ini perlu terus didorong, supaya masyarakat menyadari bahwa ke depan premium risk [kredit] itu juga akan dilihat dari kegiatannya bertransaksi secara digital. Selama ini, kenapa kredit UMKM itu dijaminkan atau bunganya tinggi, ya, karena LJK belum mampu meng-handle risiko, jadi dibebankan ke asuransi atau ke pelaku usaha itu sendiri," jelasnya.
Terakhir, Aviliani berharap pemerintah dan para stakeholder perancang ketentuan, serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator para platform ICS, secepatnya merampungkan koridor-koridor penggunaan data pribadi dalam hal analisis keuangan.
Jangan sampai rambu-rambu ketentuan hukum dan perlindungan data nasabah sudah jauh tertinggal ketimbang langkah para platform fintech, terutama pelaku usaha analisis data seperti fintech ICS. Hal ini justru bisa menghambat inovasi dan kontraproduktif buat pelaku di dalam ekosistem keuangan digital Indonesia.