Bisnis.com, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyatakan tidak akan buru-buru menerbitkan mata uang digital yang disebut dengan Central Bank Digital Currency (CBDC).
CBDC merupakan sebuah representasi digital dari uang yang menjadi simbol kedaulatan negara atau sovereign currency yang diterbitkan oleh bank sentral dan menjadi bagian dari kewajiban moneternya. Saat ini, seperti diketahui, bank sentral memiliki kewajiban moneter berupa uang kartal (uang kertas dan uang logam) dan rekening giro pihak ketiga.
Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menyampaikan Bank Sentral saat ini masih terus mengamati perkembangan penggunaan cryptocurrency di dunia dan nasional. Bahkan, selama beberapa tahun terakhir penyusunan regulasi dan desain khusus terkait CBDC semakin intens.
"Kalau urgensinya belum ada, kami masih akan melihat dulu dari negara lain. Kami memang banyak bekerja sama dengan Bank sentral negara lain. Namun, urgensi penerbitannya belum sebesar itu," katanya, Minggu (22/3/2021).
Dia menjelaskan saat ini ada 2 bank sentral yang cukup agresif mendorong penerbiran CBDC, yakni Swedia dan China.
Di Swedia, masyarakat negara tersebut sudah tidak ingin menggunakan uang kertas sehingga kebutuhan uang digital termasuk cryptocurrency sangat besar.
Namun, negara ini pun tak terburu mengeluarkan cryptocurrency sendiri karena memiliki dampak signfikan pada stabilitas sistem keuangan nasionalnya.
"Kalau dia tidak hati-hati dalam menyusun konsep cryptocurrency ini, maka dia bisa bikin distrupsi signifikan pada sektor keuangan, khususnya pada sektor keuangan, perbankan. Jangan sampai saat cryptocurrency muncul, orang jadi malas menyimpan uang di bank. Mereka langsung menempatkan uangnya pada bank sentral," jelasnya.
Baca Juga : Delameta Dukung Penerbitan Rupiah Digital |
---|
Sementara itu, di China, di mana ekosistem digital yang telah luar biasa berkembang, terdapat konglomerasi yang bahkan gurita bisnisnya sangat luas dengan bisnis transaksi uang digital ini.
Tren ini dikhawatirkan bank sentral China karena akan membuat sistem keuangan dikuasai oleh pihak swasta, yang justru bisa sulit dikendalikan.
"Sehingga bank sentral di China buru-buru mewacanakan pembentukan cryptocurrency, karena ada konteks seperti itu di China," jelasnya.
Adapun di Indonesia, Erwin melanjutkan otoritas moter saat ini masih terus melihat urgensi dan kebutuhan masyarakat. BI akan meterus melihat masyarakat membutuhan uang digital berupa mata uang kripto, atau hanya cukup uang digital yang saat ini sudah sangat marak digunakan.
Kalau ada penerbitan CBDC, BI pun akan terus menganalisa kembali distribusinya untik segmen rital atau hanya untik di pasar uang antar bank.
"Karena cryptocurrency ini sarat dengan isu teknologi, sarat dengan isu desian teknis, maka BI juga aktif melakukan penelitian terkait cryptocurrency," imbuhnya.
Adapun hingga awal 2021, terdapat 13 perusahaan yang sudah memperoleh tanda daftar dari Bappebti sebagai calon pedagang fisik aset kripto.
Perusahaan tersebut adalah PT Cripto Indonesia Berkat, Upbit Exchange Indonesia, PT Tiga Inti Utama, PT Indodax Nasional Indonesia, PT Pintu Kemana Saja, PT Zipmex Exchange Indonesia, PT Bursa Cripto Prima, PT Luno Indonesia Ltd, PT Rekeningku Dotcom Indonesia, PT Indonesia Digital Exchange, PT Cipta Coin Digital, PT Triniti Investama Berkat, dan PT Plutonext Digital Aset.
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menyampaikan transaksi harian bisa mencapai Rp600 miliar hingga Rp700 miliar per hari pada 2019.