Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) terus melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai fundamental dan mekanisme pasar. Hal tersebut dilakukan melalui intervensi di pasar spot dan pasar Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), serta pembelian SBN dari pasar sekunder.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan hal tersebut dilakukan untuk menjaga stabilitas keuangan dan moneter dari dampak global spillover dengan kenaikan yield US Treasury (UST).
“Stabilisasi nilai tukar ini kami lakukan secara erat dengan koordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk bersama-sama menjaga tidak hanya stabilitas nilai tukar rupiah, tapi juga stabilitas pasar SBN,” ujar Perry dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Berkala II KSSK Tahun 2021 secara virtual, Senin (3/5/2021).
Selain menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, Perry mengatakan BI juga telah menurunkan suku bunga secara agresif sebanyak enam kali dalam setahun. Terakhir, pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI 19-20 April lalu, BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR) ditahan di level 3,5 persen.
“Suku bunga 3,5 persen ini merupakan suku bunga kebijakan BI yang terendah sepanjang sejarah,” katanya.
Selain itu, di sisi makroprudensial, BI juga terus mempertahnkan kebijakan yang akomodatif dengan mempertahankan rasio countercyclical buffer (CCB) sebesar 0 persen, dan rasio penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) sebesar 6 persen dengan fleksbilitas repo sebesar 6 persen. Lalu, rasio PLM syariah sebesar 4,5 persen dengan fleksibilitas repo sebesar 4,5 persen.
Terkait dengan intermediasi perbankan, BI juga memperkuat kebijakan rasio intermediasi makroprudensial (RIM) dengan melonggarkan ketentuan loan to value ratio (LTV) untuk kredit KPR menjadi 100 persen. Lalu, dengan menentukan uang muka kendaraan bermotor menjadi 0 persen.
Kemudian, BI juga mendorong penurunan suku bunga kredit melalui transparansi suku bunga dasar kredit atau SBDK.