Bisnis.com, JAKARTA - Berbeda dengan pinjaman online ilegal, platform fintech peer-to-peer (P2P) lending resmi di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki kode etik dan tak akan sembarangan dalam menjalankan bisnisnya.
Riswinandi Idris, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK, menjelaskan bahwa Otoritas sendiri telah menyusun Digital Finance Innovation Road Map and Action Plan 2020-2025.
Terutama, untuk mendukung inovasi yang bertanggung jawab di sektor jasa keuangan, termasuk industri fintech P2P lending melalui penyusunan kebijakan yang menyeimbangkan antara inovasi, stabilitas keuangan, dan perlindungan konsumen.
Baca Juga : Meresahkan, OJK Berantas 3.193 Pinjol Ilegal |
---|
"Khusus untuk pengawasan P2P lending, kami juga mengembangkan Pusat Data Fintech Lending [PUSDAFIL] untuk pengawasan dengan pendekatan berbasis teknologi atau SupTech. Saat ini sudah sekitar 83 platform yang terkoneksi ke PUSDAFIL dan tentunya integrasi ini masih terus berjalan," jelasnya dalam diskusi virtual bersama Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), Rabu (30/6/2021).
Riswinandi menjelaskan sistem ini sama seperti Fintech Data Center (FDC) yang dibuat Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), yang berguna untuk para pemain industri fintech P2P legal dalam mitigasi risiko calon peminjam dana atau borrower.
"Sistem ini untuk membantu platform bekerja dengan lebih pruden dan efisien, karena bisa mengetahui calon peminjam itu sudah dapat pinjaman dari mana saja. Jangan sampai ada yang pinjam ke 10 fintech tapi tidak bisa membayar karena meminjam melebihi kemampuan. Ini jangan sampai terjadi di platform resmi," tambahnya.
Kini, OJK pun masih menutup pendaftaran platform P2P baru yang telah berlaku sejak Februari 2020, dengan harapan memastikan status masing-masing fintech, menyusul merebaknya keresahan di masyarakat akibat aksi pinjaman online (pinjol) ilegal.
Moratorium pendaftaran fintech dilakukan untuk memverifikasi dan mengawasi platform yang belum memenuhi peraturan yang ada. Perusahaan yang telah terdaftar diberikan waktu satu tahun untuk mengurus perizinan.
Selain itu, jelasnya, OJK Juga berencana melakukan pembaharuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tahun 2016 untuk mengadopsi permasalah pinjaman online yang terjadi saat ini dan mengantisipasi perubahan di masa mendatang.
Turut hadir, Ketua Tim Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing yang mengungkap sejak tahun 2018, OJK melalui Satgas Waspada Invesatasi telah menutup sebanyak 3.193 fintech ilegal.
Penutupan terbanyak dilakukan tahun 2019, yaitu 1.493 perusahaan. Tahun 2020 sebanyak 1.026 fintech ilegal, tahun 2018 sebanyak 404 perusahaan ilegal dan sejak awal 2021 hingga Juni mencapai 270 fintech ilegal.
Tongam mengungkap upaya pemberantasan pinjol ilegal menghadapi kendala karena sebagian besar server yang beroperasi bukan di Indonesia. Hanya sekitar 22 persen di Indonesia, selebihnya di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia atau China, dan menggunakan aplikasi pribadi.
"Masyarakat perlu mengetahui bahwa setiap penawaran pinjaman online melalui SMS dan WA adalah ilegal karena pada pinjaman online ilegal ini ada syarat untuk dapat memberikan izin akses data di ponsel. Data ini akan digunakan untuk penagihan secara tidak beretika," terangnya.
Untuk menghindari terjerat pada pinjaman online, Tongam menyebutkan setidaknya ada empat hal yang bisa dilakukan, yaitu hanya pinjam pada fintech peer to per lending terdaftar, pinjam sesuai kebutuhan, pinjam untuk kepentingan yang produktif dan pahami biaya, bunga, jangka waktu, denda, dan risikonya.