Bisnis.com, JAKARTA — Tingginya kebutuhan dana di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19 membuat banyak masyarakat meminjam dari pinjaman online atau pinjol. Kondisi ini dinilai dimanfaatkan pinjol ilegal untuk menjaring banyak korban.
Menurut Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) Tongam L. Tobing, kondisi saat ini dimanfaatkan oleh entitas-entitas pinjol ilegal untuk menawarkan lebih banyak pinjaman kepada masyarakat. Sayangnya, tetap banyak masyarakat yang mengambil pinjaman itu kemudian terjebak.
"Mereka yang unbankable ini tidak bisa dilayani sektor keuangan formal, kebutuhan masyarakat akan fintech P2P lending yang legal digunakan para pelaku untuk menipu masyarakat. Ini menjadi kesempatan pelaku pinjol ilegal untuk menipu masyarakat," ujar Tongam pada Kamis (22/7/2021).
Dia menggunakan istilah penipuan dan jebakan bukan tanpa alasan. Menurutnya, entitas pinjol ilegal bukan hanya beroperasi tanpa izin Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tetapi juga seringkali melakukan hal-hal yang sangat merugikan peminjamnya dan orang-orang di sekitarnya.
Pelanggaran kontrak menjadi masalah yang sangat sering terjadi. Misalnya, peminjam dan pinjol ilegal menyepakati pinjaman sebesar Rp1 juta, tapi dana yang diberikan hanya Rp700.000 dengan dalih adanya potongan biaya.
Hal itu merembet ke masalah selanjutnya, yakni pengenaan suku bunga yang tinggi dan pelanggaran perjanjian bunga. Tongam mencontohkan bahwa perjanjian bunga 1,5% seringkali berubah menjadi 3% saat pinjaman telah disalurkan.
Baca Juga
Peminjam dirugikan dua kali karena pengembalian dana mengacu kepada jumlah yang diajukan, bukan jumlah yang mereka terima. Lalu, terdapat bunga yang lebih tinggi dari perkiraan awal sehingga sangat banyak peiminjam yang tidak mampu mengembalikan dananya.
Setelah itu, tenor pinjaman pun seringkali berubah setelah dana disalurkan. Misalnya, kontrak awal tertulis bahwa tenor 90 hari, tetapi peminjam sudah mendapatkan penagihan dan bahkan teror pada hari ketujuh.
"Dari berbagai masalah itu, kekuatan pinjol ilegal ada di data, mereka bisa memanfaatkan data dan kontak yang ada. Orang-orang yang enggak mengetahui [peminjaman] itu jadi ikut terganggu karena dihubungi," ujar Tongam.
SWI menolak anggapan bahwa fintech merupakan bisnis yang menyengsarakan masyarakat, karena pinjol legal beroperasi sesuai aturan dan berada di bawah pengawasan otoritas. Anggapan itu tepat jika dialamatkan kepada entitas-entitas ilegal.
"Menyengsarakan kalau pinjol ilegal. Itu bukan jasa keuangan, bukan fintech, itu kejahatan," ujar Tongam.