Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan hari ini (19/8/2021) resmi menerbitkan dua POJK baru di sektor perbankan. POJK tersebut adalah POJK 12/2021 tentang Bank Umum baru dan POJK 13/2021 tentang penyelenggaraan produk bank umum.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan POJK 12/2021 mendorong percepatan transformasi dan akselerasi digital, serta memepertegas pengertian bank digital.
"Di dalam POJK 12/2021 kita memang mendefinisikan lebih tegas mengenai bank digital, tetapi sebetulnya kita tidak ingin mendikotomikan bank yang melakukan layanan digital, bank yang bertransformasi menjadi bank digital, atau bank digital baru. Sebab di UU kita hanya mengenal bank umum dan BPR. Jadi saya tetep menyatakan bahwa bank ya bank," katanya dalam sebuah diskusi, Kamis (19/8/2021).
Heru menjelaskan dalam POJK 12/2021 dijelaskan bahwa bank digital adalah bank yang melakukan transaksi secara elektronik dan tidak perlu mempunyai cabang yang banyak. Bank digital boleh beroperasi hanya dengan satu kantor pusat, atau menjalankan bisnis dengan kantor fisik dalam jumlah yang terbatas.
"Hanya ada satu kantor pusat yang barangkali hanya satu kantor cabang cukup, tetapi layananya betul-betul sudah fully digital," imbuhnya.
POJK 12/2021 juga mengatur modal inti pendirian bank baru sebesar Rp10 triliun. Adapun, modal inti bank existing yang bertransformasi menjadi bank digital sesuai dengan POJK konsolidasi bank umum yakni sebesar Rp3 triliun.
Baca Juga
"Apakah nanti bank yang sudah melayani [digital] perlu menambah modal, ya gak. Karena dalam aturan kita sebelumnya bahwa terkait dengan konsolidasi itu bank minimal memiliki modal Rp3 triliun, tetapi untuk pendirian bank baru termasuk untuk pendirian bank digital kita mengatur modalanya harus Rp10 triliun," katanya.
Ketentuan modal minimum Rp10 triliun untuk pendirian bank baru bukan tanpa alasan. Heru mengatakan ketentuan modal sudah berpuluh-puluh tahun sehingga sudah tidak sesuai dengan perkembangan industri yang semakin pesat ke depannya. Apalagi layanan digital juga membutuhkan modal yang cukup kuat.
"Saya mengatakan bahwa perkembangan industri kita demikian pesat sehingga tidak bisa menggunakan aturan yang sudah berpuluh tahun, karena penguatan kelembagaan, tata kelola, dan operasional modal, semua membutuhkan modal," katanya.
Heru menambahkan jika ada bank baru dengan modal inti di bawah Rp10 triliun maka tidak akan cukup dari sisi skala ekonomi. "Kalau di bawah itu barangkali dia bisa memperoleh laba, tetapi tidak bisa memberikan kontribusi pada ekonomi kita," imbuhnya.
Heru melanjutkan nantinya OJK akan melihat bagaimana bank digital mengelola risikonya, termasuk dalam hal pemanfaatan teknologi dan cyber security.
"Apakah tata kelola mengenai cyber security juga memadai, itu akan kita evaluasi. itu menjadi penting karena di dalam era digital ini perlindungan kepada konsumen jangan sampai ketinggalan. orang orang yang ingin menghack bank atau yang membuat nasabahnya dirugikan, kita akan jaga. Makanya nanti di dalam blue print mengenai transformasi digital bank sudah kita bikin tata kelola mengenai cyber security," katanya.