Bisnis.com, JAKARTA - Peran Bank Indonesia (BI) sebagai pembeli siaga atau standby buyer untuk pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana dalam rangka mendukung pendanaan APBN 2022 dinilai masih sangat diperlukan.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyampaikan bahwa pemerintah pada 2022 menargetkan pembiayaan utang sebesar Rp973 triliun.
Jumlah tersebut menurun jika dibandingkan dengan proyeksi realisasi pembiayaan utang di tahun ini yang mencapai Rp1.026 triliun. Di sisi lain, the Fed, bank sentral Amerika Serikat, pada 2022 diperkirakan akan menaikkan tingkat suku bunga acuan secara bertahap.
Kondisi ini diperkirakan akan berpengaruh pada tingkat hasil SBN. Sementara, pemerintah menargetkan sebagian besar pembiayaan utang di 2022 akan dipenuhi dari penerbitan SBN.
“Kenaikan suku bunga acuan the Fed tentu akan berdampak pada kenaikan imbal hasil US Treasury dan muaranya juga akan berdampak kenaikan imbal hasil surat utang pemerintah, sehingga ada potensi cost of fund akan menjadi lebih mahal,” katanya kepada Bisnis, Senin (23/8/2021).
Yusuf mengatakan, hal ini tercermin dari target tingkat suku bunga SBN tenor 10 tahun yang diproyeksikan meningkat jika dibandingkan batas bawah target SUN 10 tahun pada tahun ini, yang diperkirakan mencapai 6,34 persen.
Di samping itu, dia menilai ada potensi penambahan anggaran belanja pemerintah untuk mendorong proses pemulihan ekonomi yang lebih cepat di tahun depan, baik dalam bentuk belanja rutin maupun belanja stimulus melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional.
“Jadi, keterlibatan Bank Indonesia masih diperlukan di tahun depan dalam rangka memastikan sisi fiskal bisa lebih leluasa dalam mengeksekusi belanja pemerintah, dan juga memastikan bahwa kebijakan fiskal dalam jangka panjang tidak dibebani imbal bunga utang yang lebih besar,” jelasnya.
Dia menilai, keterlibatan BI dalam pembelian SBN juga menjaga risiko portofolio utang pemerintah yang terlihat pada Average Time To Maturity (ATM) 8,6 tahun. “Hal ini karena BI ikut masuk dalam SBN tenor menengah panjang”.
Yusuf menambahkan, meski inflasi diperkirakan meningkat pada tahun depan, namun kenaikan inflasi masih dalam batas psikologis yang aman di level 3 persen.
Selain itu, posisi BI sebagai standby buyer menurutnya juga berdampak positif pada porsi kepemilikan investor asing di SBN. Dengan bertambahnya proporsi BI dalam SBN pemerintah, maka pada saat yang sama proporsi asing menjadi berkurang.
“Momentum ini seharusnya dipertahankan agar memperkecil kerentanan SBN pada vulnerabilitas sudden capital outflow yang biasa terjadi ketika proporsi asing cukup besar pada instrumen surat utang yang diterbitkan suatu negara,” jelasnya.
Adapun, pada konferensi pers virtual, Kamis (19/8/2021), Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan bahwa rencana pembelian SBN oleh BI di pasar perdana untuk mendukung pendanaan APBN 2022 tengah dibahas bersama dengan Pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI.
“Sedang dalam proses pembahasan dengan Banggar. Sesuai UU No. 2/2020 partisipasi BI dalam pembiayaan APBN dimungkinkan dan memang diperbolehkan,” katanya.
Perry mengatakan, kebutuhan anggaran yang masih sangat besar, khususnya untuk penanganan pandemi Covid-19 di 2022 masih harus dipahami.
Oleh karenanya, BI dalam hal ini akan terus berkoordinasi dengan pemerintah dan DPR. “Pada waktunya tentu saja bu Menteri Keuangan [Sri Mulyani] dan saya akan memberikan penjelasan mengenai hal ini,” kata Perry.