Bisnis.com, JAKARTA -- Kondisi pandemi Covid-19 memicu peningkatan pemanfaatan teknologi digital di berbagai sektor kehidupan, tak terkecuali sektor industri asuransi. Hal ini pun membuat potensi berkembangnya insurance technology (insurtech) sebagai jalur distribusi alternatif pemasaran produk asuransi semakin besar.
Saat ini, perkembangan insurtech di Indonesia masih belum terlalu tinggi. Namun, dengan semakin berkembangnya teknologi dan perubahan pola perilaku konsumen, insurtech diyakini akan semakin berkembang ke depan. Terlebih di tengah terbatasnya interaksi di masa pandemi, kehadiran insurtech tentunya bisa mempermudah dan memperluas akses masyarakat terhadap asuransi.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada Juli 2021, premi asuransi yang dibukukan melalui pemasaran digital sudah mencapai Rp6 triliun. Kontribusi premi asuransi lewat kanal distribusi digital yang dibukukan oleh perusahaan asuransi umum dan asuransi jiwa tersebut telah mencapai 3,94 persen dari total premi asuransi umum dan jiwa.
Deputi Direktur Pengawasan Asuransi 2 OJK Kristianto Andi Handoko mengatakan bahwa insurtech sebenarnya bukan merupakan hal baru, tetapi memang perkembangannya semakin kencang di masa pandemi ini.
"Saya rasa ini [insurtech] akan meningkat signifikan dalam beberapa tahun ke depan. Konsekuensinya teman-teman di industri asuransi harus mulai semakin memperbaiki, terutama dari sisi teknologi informasi," ujar Andi dalam sebuah webinar, Rabu (15/9/2021).
Menurutnya, keberadaan insurtech juga semakin mendorong efisiensi bisnis asuransi. Selain mengurangi risiko penularan Covid-19, insurtech juga dapat meminimalisasi beban operasional dan mempermudah proses underwriting, serta klaim.
Dia juga berharap perusahaan asuransi yang memanfaatkan insurtech dan digitalisasi dapat memberikan akses yang luas ke masyarakat, menyediakan produk asuransi sesuai kebutuhan dan kemampuan, serta meningkatkan literasi keuangan dan asuransi masyarakat.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Dody Dalimunthe tak memungkiri bahwa pandemi Covid-19 telah mengakselerasi interaksi digital customer. Oleh karena itu, pelaku industri asuransi melakukan penyesuaian proses bisnis mulai dari produk, layanan, sistem, hingga sumber daya manusia yang kompeten.
"Keterlibatan digital akan mulai mengarah ke hal-hal yang sifatnya lebih advance. Bahkan pemain baru nontradisional akan jadi kompetitor. Kompetitor mungkin nanti dari perusahaan-perusahaan yang mungkin belum diregulasi OJK," kata Dody.
Dalam tren digitalisasi asuransi, produk asuransi yang segera terdampak adalah lini bisnis asuransi kecelakaan diri dan asuransi kendaraan bermotor karena kedua lini bisnis ini relatif sederhana dan memiliki frekuensi transaksi besar dibandingkan dengan produk asuransi lainnya.
Menghadapi perkembangan digitalisasi tersebut, menurutnya, perusahaan asuransi harus dapat beradaptasi dan pendekatan tradisional dalam menjual produk asuransi sudah harus berubah. Dalam lingkungan yang sangat kompetitif ini, perusahaan asuransi tidak dapat lagi mengandalkan pertumbuhan organik atau inovasi internal.
Pemenangnya adalah mereka yang dapat menjalin aliansi dengan perusahaan baru yang inovatif, bersekutu dengan insurtech, dan berkonsolodasi dengan rekan bisnisnya.
"Kami melihat ke depan peluang insurtech itu besar. Pengguna internet milenial itu sekarang yang dominan," katanya.
Produk asuransi tersedia secara daring dan dapat diakses dengan mudah sehingga cocok untuk para milenial yang membutuhkan proteksi. /Qoala.app
Perkembangan insurtech juga ditunjang oleh demografi masyarakat yang berusia produktif yang memiliki perilaku belanja online dan perilaku konsumen pada masa pandemi maupun setelah pandemi.
Namun demikian, perkembangan insurtech tentunya masih menghadapi tantangan, seperti ketersediaan jaringan dengan kondisi geografis Indonesia, masih sulitnya penjualan produk asuransi sehingga edukasi menjadi hal esensial untuk insurtech menjangkau lebih luas sasaran, dan regulasi insurtech yang belum lengkap bila dibandingkan dengan fintech.
Sementara itu, penjualan produk asuransi jiwa melalui platform digital dinilai lebih sulit dibandingkan dengan produk asuransi umum. Hal ini disebabkan karakteristik produk asuransi jiwa lebih kompleks dibandingkan produk asuransi umum.
Kepala Departemen Insurtech Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Henky Djojosantoso mengatakan, penjualan produk asuransi jiwa melalui digital terus meningkat meskipun porsinya belum signifikan.
AAJI mencatat premi dari kanal distribusi digital pada 2019 baru mencapai Rp13,6 miliar. Angka ini meningkat lebih dari dua kali lipat pada 2020 menjadi Rp31,5 miliar.
Sementara, sepanjang semester I/2021 ini, premi dari kanal distribusi digital telah mencapai Rp24,17 miliar. Secara kontribusi terhadap total premi industri asuransi jiwa, porsinya masih sangat kecil, yakni masih di bawah 0,1 persen.
"Kalau bicara online sales sendiri, tantangan produk dan prosesnya harus beda. Tidak bisa semata produk dijual di channel lain, kemudian kami tawarkan secara online, itu tidak jalan. Produk harus simple, straightforward, dan mungkin shorterm. Saat ini, produk asuransi jiwa memang produk yang sifatnya longterm jadi perlu perubahan paradigma dalam membuat produk," kata Henky.
Direktur & Chief of Partnership Distribution Officer PT Asuransi Allianz Life Indonesia Bianto Surodjo mengamati bahwa perkembangan teknologi digital dalam 1 dekade terakhir telah mendorong meningkatnya preferensi pembelian produk dan jasa melalui internet, termasuk asuransi.
Perubahan tren tersebut bila dihubungkan dengan penetrasi asuransi di Indonesia yang masih rendah, membuat pelaku industri asuransi harus berpikir ulang untuk mengoptimalkan pemanfaatan kanal digital secara lebih efektif.
"Dorongan ini tidak hanya datang dari konsumen dan pelaku industri, tapi juga pelaku modal yang eager melakukan investasi di asuransi digital yang kemudian mendorong perkembangan akselerasi bisnis asuransi digital ini," tutur Bianto.
Dengan perkembangan tersebut, ia melihat potensi distribusi asuransi digital sangat tinggi di Indonesia, meski masih banyak tantangan yang dihadapi. Menurutnya, pelaku industri asuransi harus mampu mengeliminasi tantangan yang ada agar penetrasi asuransi jiwa dapat terus meningkat di era digital.
"Kalau melakukan penjualan lewat platform digital harus mulai dengan produk yang relatif sederhana. Mungkin produk life ini produk ritelnya agak beda dengan asuransi umum karena umumnya produk di life dan health ini punya spektrum dan kompleksitas yang berbeda. Kalau di Allianz kami memanfaatkan platform digital populer, baik platform Allianz sendiri, platform broker asuransi, seperi PasarPolis, e-commerce Bukalapak, atau platform lainnya seperti Gojek," kata Bianto.