Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

APPI: Jangan Ada Lagi Debitur Leasing 'Lebih Galak' dari Debt Collector

Itikad buruk debitur justru akan merugikan diri sendiri ketika perkara penagihan terpaksa memasuki jalur hukum.
Ilustrasi Debt Collector/www.hors-agcs.org
Ilustrasi Debt Collector/www.hors-agcs.org

Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) mendukung debitur multifinance 'galak', apabila terdapat dispute atau pelanggaran HAM dari pihak penagih. Namun, jangan sampai asal galak saja, padahal debitur sendiri yang salah.

Ketua Umum APPI Suwandi Wiratno mengungkap hal tersebut dalam diskusi virtual mengenai polemik eksekusi jaminan fidusia, yang mulai mencuat sejak keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) lewat Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019.

Suwandi paham bahwa kondisi di lapangan memungkinkan terjadinya dispute atau perilaku tidak etis dari pihak penagih atau akrab disapa debt collector, terutama kolektor pihak ketiga. Walaupun, jumlahnya hanya segelintir dari sekitar 20 juta total debitur industri pembiayaan.

"Karena kami paham, putusan MK ini awal mulanya juga karena ada kasus debt collector menagih seorang debitur yang memang belum bayar utang, tapi dengan cara rumahnya digembok dari luar. Jadi kalau terjadi dispute, saya setuju lewat jalur hukum, selesaikan di pengadilan," ujarnya, dikutip Bisnis Kamis (7/10/2021).

Terkini, dalam putusan MK No. 2/PUU-XIX/2021 yang menolak gugatan perwakilan pelaku kolektor atas nama Joshua M. Djami, MK kembali memperjelas bahwa sebenarnya pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri hanyalah sebagai sebuah alternatif yang dapat dilakukan.

Intinya, MK berupaya menjamin kesetaraan posisi antara debitur dan kreditur, di mana jalur hukum bisa ditempuh apabila terdapat ketidaksepakatan berkaitan dengan wanprestasi, maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan fidusia.

Namun demikian, Suwandi menjelaskan bukan berarti di setiap kondisi penagihan, debitur bisa memaksa harus ada putusan pengadilan, bahkan seenaknya melakukan penguasaan atas kendaraan yang merupakan objek jaminan fidusia.

Apalagi, sampai 'lebih galak' dari debt collector, bahkan melakukan tindakan yang memakan korban sehingga justru berujung pada perkara pidana. APPI pun mengecam kasus kekerasan kepada pihak kolektor, yang bahkan sampai berujung terbunuhnya beberapa debt collector yang sempat terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

Terlebih, itikad buruk debitur justru akan merugikan diri sendiri ketika perkara penagihan terpaksa memasuki jalur hukum. Pasalnya, apabila debitur terbukti wanprestasi dan kalah, bukan tak mungkin ada konsekuensi lain dan biaya-biaya perkara pun bisa dibebankan ke debitur.

"Kami biasanya mengirimkan somasi setelah 7 hari dari tanggal non-performing loan, kemudian di hari ke-14, dan terakhir di hari ke-21. Makanya, itu jangan dicuekin. Bicarakan saja baik-baik dengan kami. Kalau bertindak sendiri dengan menjual atau menggadaikan barangnya, itu justru melanggar UU Jaminan Fidusia dan bisa terjerat hukuman pidana 2 tahun," tambahnya.

APPI sendiri terus mendorong agar seluruh multifinance atau leasing yang menjadi anggotanya untuk mematuhi aturan ketika melakukan penagihan. Terutama, berkaitan surat pemberitahuan dan sertifikasi debt collector pihak ketiga untuk menjamin bahwa mereka melakukan penagihan yang beretika.

Perlu dipahami bahwa multifinance tidak akan sampai menggunakan jasa kolektor pihak ketiga apabila debitur beritikad baik. Kolektor pihak ketiga terpaksa terjun apabila debitur atau barang sulit ditemukan, atau bahkan keduanya hilang dan sulit dilacak.

Direktur Keuangan sekaligus Sekretaris Perusahaan PT BFI Finance Indonesia Tbk. (BFI Finance) Sudjono mengungkap bahwa edukasi dan layanan informasi pelanggan yang baik dari sisi multifinance juga diperlukan.

Sudjono menyarankan agar debitur yang tengah kesulitan, lebih baik berkomunikasi dengan divisi costumer handling di multifinance terkait. Hal ini mencerminkan adanya itikad baik, dan setiap multifinance pasti menerima untuk mencoba menyelesaikan permasalahan bersama-sama.

"Menurut pengalaman kami, biasanya debitur itu bisa terima kondisi mereka wanprestasi, kalau diinformasikan secara baik-baik sedini mungkin. Kami termasuk yang sedikit mendapatkan komplain di OJK, karena kami selalu memposisikan divisi layanan pelanggan itu setara dengan debitur. Kami bisa mempertemukan mereka dengan dealer misalnya, supaya terjadi penyelesaian masalah yang komprehensif," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper