Bisnis.com, JAKARTA – Seiring dengan meningkatnya inovasi digital bank atau neobank, kini sudah mulai banyak perusahaan dan bank yang memanfaatkan sistem pembayaran yang telah terintegrasi dengan teknologi dan digitalisasi.
Dengan nama baru yang tengah trending saat ini, yakni bank digital atau neobank, merupakan perusahaan yang tidak memiliki kantor fisik sama sekali, tetapi eksis sepenuhnya secara online. Artinya, neobank merupakan bank yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha secara digital (fully digital), tanpa kantor fisik (no physical branch), ataupun kantor, termasuk kantor pusat.
Sebuah riset pada Desember 2020 menemukan, terdapat 250 neobank di seluruh Indonesia. Selain itu, pasar neobank secara global bernilai sebesar 18,6 miliar dolar pada 2018 dan diperkirakan akan terus meningkat pada tahun gabungan sekitar 46,5 persen antara 2019 sampai dengan 2026 dengan estimasi sebesar 395 miliar dolar untuk neobank.
Wakil Ketua Umum III Aftech sekaligus CEO Aladin Technologies Indonesia Harianto Gunawan mengatakan, neobank melakukan tugas seperti menyetorkan cek atau melakukan pembayaran peer-to-peer secara online serta tanpa biaya yang berlebihan.
“Ini adalah suatu hal yang akan menjadi kelebihan sifat gesit dari neobank, khususnya untuk mengandalkan proses serba digital memudahkan konsumen untuk melakukan transaksi keuangan,” kata Harianto dalam diskusi virtual Fintech Talk, Jumat (19/11/2021).
Merujuk riset DailySocial pada 2021, mengungkapkan bahwa 44 persen dari 250 bank papan atas di Asia Pasifik telah melakukan sosialisasi pelayanannya. Sementara itu, penelitian juga memperkirakan bahwa 63 persen nasabah bank di kawasan Asia Pasifik akan menggunakan layanan pada 2025.
Baca Juga
“Khususnya untuk Indonesia, peningkatan jangkauan internet serta telepon seluler pada penduduk akan mendorong peningkatan neobank di Indonesia,” ujarnya.
Adapun penelitian yang dilakukan oleh INDEF pada 2020 menemukan bahwa 40 dari total 110 bank di Tanah Air berpotensi menghasilkan atau menjadi neobank di masa depan karena pencapaian digitalisasi.
“Dengan meningkatnya permintaan dari Indonesia untuk layanan digital tersebut, kita prediksikan akan semakin banyaknya para pemain pelaku pasar, khususnya yang nanti akan bergerak di bidang digital perbankan,” imbuhnya.
Harianto menambahkan bahwa neobank sendiri seperti halnya inovasi-inovasi lain di Tanah Air yang akan menemukan titik keberhasilan dan tantangan dalam perjalanannya menuju suatu market.
Kepala Departemen Riset Sektor Jasa Keuangan OJK Inka Yusgiantoro mengatakan landasan hukum yang ada saat ini belum memuat kategori khusus untuk neobank. Adapun landasan hukum yang dimaksud adalah Undang-undang No. 7/1992 tentang Perbankan, yang diperbaharui dengan Undang-undang No. 10/1998, dan juga POJK No.12/2021 tentang Bank Umum.
“Tentunya yang diharapkan ke depan dengan keberadaan ini akan menyasar kepada nasabah yang cenderung paham dengan menggunakan teknologi yang biasa melakukan pengelolaan keuangan rumah tangga melalui aplikasi seluler,” ucap Inka.
EKOSISTEM JADI KUNCI PEMBEDA
CEO Bank Raya Kaspar Situmorang menyampaikan terdapat kunci pembeda antara bank konvensional dengan bank digital, yakni mengacu pada ekosistem.
“Karena, mulai dari bisnis model dan bisnis prosesnya agak berbeda dengan bank konvensional ritel lainnya. Sehingga, penguasaan terhadap ekosistem yang spesifik sangat menentukan,” kata Kaspar.
Melihat beberapa market seperti Amerika, Eropa, dan Asia, khususnya di Asia Pasifik. Menurut Kaspar, hanya di Asia Pasifik, di mana bank digital sudah mulai berhasil sejak 2 hingga 3 tahun lalu yang menghasilkan profitabilitas. Keberhasilan ini diraih karena penguasaan terhadap ekosistem yang spesifik memberikan nilai yang baik, sehingga bermuara kepada profitabilitas.
Untuk menghasilkan profitabilitas bagi bank digital seperti kawasan Asia Pasifik, kata Kaspar, Indonesia merupakan salah satu Customer Acquisition Cost (CAC) yang paling terbesar di dunia.
“Kata kuncinya untuk mendapatkan profitabilitas yang baik dan konsisten, menurut kami adalah Customer Acquisition Cost [CAC] harus lebih rendah daripada Customer Lifetime Value (CLTV),” terangnya.
Sementara itu, untuk mendapatkan CAC yang lebih rendah daripada CLTV, maka perbankan harus memiliki ekosistem yang spesifik, di mana dapat on-boarding ke semua layanan. Dengan demikian, akan menghasilkan profitabilitas yang tinggi dibandingkan dengan bank-bank konvensional lainnya yang Customer Acquisition Cost (CAC).
“Dengan bersinerginya antara ekosistem teknologi yang spesifik dengan bank yang mempunyai layanan, inilah yang menjadi keunggulan-keunggulan baru bagi industri perbankan yang kita cintai ini,” paparnya.
Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi melihat, kehadiran digital bank akan lebih memperkuat ekosistem digital financial services di Tanah Air. Jika dilihat dari sisi fintech, terutama fintech lending, Adrian melihat adanya dua keuntungan dari adanya digital bank atau neobank.
Pertama, memperkuat ekosistem sekaligus menjadi kompetisi. Menurut Adrian, selain dari sisi keuntungan, kehadiran digital bank juga menjadi kompetisi yang akan semakin meningkat bagi pelaku perusahaan teknologi.
“Sehingga, sebagai sebuah perusahaan teknologi kita juga harus selalu bisa adaptasi, inovasi, dan langkah atau strategi yang diterapkan agar bisa terus tumbuh berdampingan”.
Kedua, adanya kolaborasi. Adrian mengatakan bahwa satu hal yang terlihat dengan adanya kehadiran digital akan lebih membuat lebih seamless.
“Karena, basic infrastructure dari sebuah digital bank itu teknologinya juga harusnya cukup open dan ini membuat kolaborasi akan semakin seamless antara fintech dengan industri perbankan, khususnya perbankan digital,” ucapnya.
Di samping itu, lanjut Adrian, kehadiran neobank digital bank akan melengkapi ekosistem digital financial services yang tidak lain tujuannya adalah Indonesia mengakselerasi inklusi keuangan.
“Harapannya tidak hanya dari sisi segmen konsumer atau ritel, tetapi juga UKM atau small business. Kehadiran digital bank ini bisa juga membantu proses digitalisasi dari bisnis UMKM di Indonesia,” harapnya.
RISET KESIAPAN KONSUMEN INDONESIA
Sementara itu, Associate Partner McKinsey & Company Eric Buntoro melakukan sebuah survei di beberapa kota besar di Indonesia, di mana terdapat lebih dari 1.000 responden dengan pendapatan, profil, dan latar belakang yang berbeda-beda.
Menariknya, Eric melaporkan bahwa masyarakat Indonesia sudah sangat siap untuk pelayanan financial service berbasis digital. Berdasarkan survei tersebut, aktivitas mobile banking atau online banking mengalami pertumbuhan yang pesat, yakni pada 2017 sekitar 57 persen dan sekitar 78 persen pada 2021.
“Jadi, active digital banking user atau orang yang menggunakan digital banking, baik online atau mobile, minimal satu kali dalam sebulan di Indonesia sudah di kisaran 80 persen,” lapornya.
Selain itu, dari sisi pertumbuhan fintech dan dompet digital (e-wallet) juga tumbuh jauh lebih pesat. Eric menyebut, pada 2017 penetrasi fintech hanya sekitar 5 persen, sedangkan saat ini sudah hampir 50 persen.
Kendati demikian, terdapat perubahan yang paling besar karena permintaan perubahan terhadap akses. Menurut Eric, masyarakat yang sebelumnya susah mendapatkan akses produk, kini dengan lebih mudah bisa mendapatkan produk tersebut.
Adapun, saat responden ditanyakan ketersediaannya untuk membeli produk secara online. Eric mengatakan, untuk semua produk keuangan, termasuk asuransi, dari sisi konsumen menyatakan 60 hingga 80 persen menyatakan siap untuk membeli produk online.
“Tapi ketika kita menanyakan apakah Anda sudah membeli produk ini secara online selama 2 tahun terakhir? Angka itu langsung drop hanya sekitar 15 sampai 30 persen,” imbuhnya.
Berdasarkan pemahamannya, meskipun konsumen sudah siap, namun dari pihak-pihak penyedia jasa atau produk belum siap.
“Otomatis ini ada kaitannya dengan dari sisi regulasi yang memastikan bahwa memang dari sisi regulasi juga siap dan para pelaku pasar juga bisa menunjukkannya dengan baik. Tapi yang kalau dari sisi kesiapan konsumen saya sudah sangat siap,” pungkasnya.