Bisnis.com, JAKARTA - Statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait industri teknologi finansial pendanaan bersama alias peer-to-peer lending (fintech lending) mengungkap utang di industri ini telah menembus Rp27,9 triliun.
Capaian outstanding per Oktober 2021 ini tercatat kembali memecahkan rekor sepanjang masa sekaligus sepanjang periode berjalan, dengan pertumbuhan mencapai 110,7 persen (year-on-year/yoy).
Padahal, apabila dilihat dari jumlah rekening penerima pinjaman (borrower) pada bulan ini sebesar 19,94 juta akun, jumlahnya masih kalah dari rekor tahunan pada Juni 2021 di 22,9 juta akun dengan outstanding senilai Rp23,37 triliun. Menandakan jumlah pinjaman rata-rata tiap borrower meningkat.
Hal ini juga tergambar dari jumlah penyaluran pinjaman pada bulan ini di angka Rp13,61 triliun kepada 12,95 juta entitas, yang juga masih kalah dari rekor sepanjang tahun ini, tepatnya pada Juli 2021 di Rp15,66 triliun kepada 27,01 juta entitas.
Berdasarkan penggunaan dana pinjaman, persentase untuk segmen produktif menembus 61,18 persen dari total penyaluran atau senilai Rp8,32 triliun. Ditopang kategori perdagangan besar dan eceran; penyediaan akomodasi dan makanan-minuman; transportasi, pergudangan dan telekomunikasi; serta bukan lapangan usaha lainnya.
Adapun, dilihat dari sisi pemberi pinjaman (lender), pamor lender perorangan dalam negeri yang berjumlah sekitar 179.000 orang tampak turun. Karena dari tren selalu di atas Rp5 triliun dalam 4 bulan terakhir, nilainya menjadi Rp4,98 triliun per Oktober 2021, walaupun terbilang masih naik sekitar 31 persen (year-to-date/ytd).
Institusi badan hukum lain-lain dari dalam negeri sejumlah 218 entitas masih menjadi penyumbang outstanding terbesar, nilainya Rp9,9 triliun, naik di kisaran 154 persen (ytd).
Hal yang sama berasal dari institusi badan hukum lain-lain dari luar negeri dengan jumlah 47 entitas saja, tapi memiliki outstanding sebesar Rp6,03 triliun, naik di kisaran 74 persen (ytd).
Salah satu yang juga signifikan, yaitu perbankan dalam negeri sebanyak 118 entitas yang naik dua kali lipat dari akhir 2020 menjadi Rp3,7 triliun. Sebanyak 72 bank umum mengambil porsi terbanyak yaitu senilai Rp3 triliun. Sementara Bank Perkreditan Rakyat (BPR) walaupun kontribusinya masih kecil, terus naik dari sisi jumlah, tepatnya dari 25 bank di awal tahun menjadi 45 bank.
Institusi keuangan non-bank alias IKNB terbilang turun dari sisi jumlah, namun nilainya naik di kisaran 36 persen (ytd) ke Rp1,5 triliun. Penyumbang outstanding dari IKNB didominasi 42 perusahaan pembiayaan. Adapun, 13 institusi koperasi ikut menyumbang outstanding Rp34,87 miliar.
Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Kuseryansyah sempat mengakui bahwa pertumbuhan industri fintech lending sepanjang tahun ini turut didorong kolaborasi dengan lender institusi, termasuk perbankan.
"Ini menepis persepsi di negara maju bahwa fintech menjadi disrupsi bank, merusak tatanan perbankan. Faktanya, di Indonesia karena kredit gap terlalu besar, institusi konvensional memang tidak bisa sendirian melayani, harus kolaborasi. Kami lihat banyaknya kolaborasi ini positif, dan ke depan kami yakin semakin meningkat," jelasnya dalam sebuah diskusi virtual beberapa waktu lalu.
Ilustrasi P2P lending atau pinjaman online (pinjol)/Samsung.com
Adapun, Ketua Umum AFPI sekaligus Co-Founder & CEO Investree, Adrian Gunadi menilai bahwa lender institusi dan lender perorangan tetap harus seimbang. Investree sendiri memiliki porsi perbandingan nilai outstanding dari lender ritel dan institusi sebesar 40:60.
Hal ini juga demi menanggapi rencana kebijakan baru OJK yang salah satunya terkait pembatasan lender institusi. Bertujuan agar setiap platform memperbesar porsi pendanaan dari lender ritel, sekaligus menghindari potensi suatu platform hanya menjadi penyalur likuiditas eksklusif bagi sebuah institusi tertentu.
Sekadar informasi, OJK berencana membatasi agar suatu institusi maksimal hanya bisa mengambil porsi 25 persen dari total outstanding tahunan suatu platform P2P lending. Sementara lender institusi yang merupakan lembaga jasa keuangan, dapat melakukan pendanaan sampai dengan 75 persen dari total penyaluran pendanaan tahunan suatu platform.
"Setiap fintech lending sebagai marketplace penyalur pendanaan, pasti melakukan diverifikasi lender. Pada umumnya lender perorangan itu yang utama, tapi lender institusi punya peran penyeimbang kalau permintaan [pinjaman] sedang besar, karena institusi dalam sekali menyalurkan itu nilainya langsung besar," jelasnya dalam diskusi bersama media.