Bisnis.com, JAKARTA — Perubahan ketentuan klaim Jaminan Hari Tua terus menjadi perbincangan dan menuai protes dari banyak orang, karena program tersebut kerap menjadi sumber 'dana darurat' bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja atau PHK.
Pemerintah menjanjikan program lain sebagai jaminan jika terkena PHK, yang baru berlaku bulan ini. Perubahan ketentuan mengenai program JHT tercantum dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT. Aturan itu disahkan pada 4 Februari 2022.
Dalam aturan baru tersebut, dana dari program JHT baru dapat dicairkan saat peserta berusia 56 tahun atau lepas kewarganegaraan Indonesia untuk selamanya. Sebelumnya, tidak terdapat batas usia sehingga dana JHT dapat dicairkan kapan saja, meskipun pada awal pembentukan program JHT sebenarnya ada batasan usia.
Dana JHT seringkali menjadi bantalan pekerja yang terkena PHK sehingga memiliki dana tambahan, baik untuk biaya kembali mencari kerja atau memulai usaha. Dengan ketentuan baru, pekerja tidak dapat mencairkan dana JHT saat terkena PHK jika usianya belum menyentuh 56 tahun.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa JHT memang program jangka panjang untuk memberikan kepastian dana saat pekerja tidak lagi produktif di usia tua. Oleh karena itu, terdapat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang menjadi pelindung jika pekerja terkena PHK.
"Klaim JKP efektif per 1 Februari 2022, mulai diberlakukan. JKP adalah perlindungan jangka pendek bagi pekerja atau buruh seketika saat berhenti bekerja," ujar Airlangga pada Senin (14/2/2022).
Baca Juga
Dia menyampaikan ilustrasi perbandingan manfaat antara JHT dan JKP bagi pekerja. Airlangga mengasumsikan perbandingan itu dengan kondisi pekerja yang sudah bekerja selama dua tahun dengan gaji bulanan Rp5 juta.
Besaran iuran JHT adalah 5,7 persen dari gaji, sehingga setiap bulannya tabungan JHT pekerja itu adalah Rp285.000 dan dalam dua tahun menjadi Rp6,84 juta. Setiap tahunnya, saldo JHT dari pekerja tersebut mendapatkan pengembangan nilai dengan asumsi 5 persen, sehingga setelah dua tahun terdapat pengembangan Rp350.000 dan total saldonya menjadi Rp7,18 juta.
Perbandingannya adalah program JKP, yang seluruh iurannya ditanggung oleh pemerintah. Pekerja yang terkena PHK itu akan memperoleh uang tunai 45 persen dari upahnya atau Rp2,25 juta setiap bulannya dalam tiga bulan pertama setelah kehilangan pekerjaan.
Peserta itu mendapatkan uang tunai dari JKP jika masih belum mendapatkan pekerjaan. Lalu, pada bulan keempat hingga keenam, peserta terkait memperoleh uang tunai 25 persen dari upahnya atau Rp1,25 juta setiap bulannya, sehingga jika dia belum mendapatkan pekerjaan enam bulan setelah terkena PHK maka dia memperoleh uang tunai Rp10,5 juta.
"Sehingga secara efektif regulasi ini memberikan Rp10,5 juta [manfaat uang tunai JKP] dibandingkan dengan Rp7,19 juta [pencairan saldo JHT]," ujar Airlangga.
Beberapa hal perlu menjadi catatan dari analogi Airlangga tersebut. Pertama, besaran saldo JHT bergantung kepada masa kerja seorang pekerja, yakni semakin lama seseorang bekerja maka saldo JHT miliknya akan lebih besar, karena adanya akumulasi saldo dan pengembangan saldo setiap tahun.
Kedua, perbandingan itu berlaku jika perusahaan atau pemberi kerja patuh membayar iuran jaminan sosial pekerjanya. Saldo JHT pekerja bisa tidak berkembang secara maksimal jika terdapat tunggakan iuran.
Ketiga, terdapat sejumlah syarat bagi pekerja untuk bisa mengajukan klaim JKP, di antaranya adalah aktif di seluruh program jaminan sosial, yakni di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dan di BPJS Kesehatan. Jika syarat-syarat yang ada tidak terpenuhi, pekerja tidak dapat mengajukan klaim JKP meskipun terkena PHK.